Draft Kritik Komoditi Beras

Isu yang muncul pada tahun ini diawal 2018, Indonesia di kejutkan terkait kebijakan pemerintah untuk melakukan impor komoditi pangan yaitu beras. Kebijakan ini membuat sebagian kalangan akademisi dan jajaran intelektual lain menjadi was-was. Tidak ubahnya seperti kebijakan sebelumnya, menimbulkan pro dan kontra. Dalam kasus kalini ternyata media massa seperti tv dan koran tidak terlalu intens menyoroti wacana kebijakan ini.
Berbagai forum diskusi mulai dibuka, entah oleh aparatur cendekiawan maupun kalangan partai politik. Berbagai model judul pembahasan terkait masalah ini cukup kreatif. Mulai dari menyoroti ranah undang-undang yang terkait, pihak mana yang dirugikan, serta dugaan ada oknum yang nakal. Pembahasan terkait isu ini tidak hanya memeras tenaga, hatipun seolah bertanya tanya. Kok bisa?
Berbagai spekulasi mulai bermunculan, ada yang menanggapinya dengan teoritis, namun banyak juga yang seolah menjadi pahlawan kesiangan dengan langsung mencari data dengan turun langsung ke dalam lingkungan petani. Tentu, hasilnya tidak sama, bahkan jauh bertentangan. Ada yang mengatakan "seharusnya begini", dan ada yang mengatakan " kami temukan bahwa". Seolah penemuan-penemuan para ahli kritik ini sangat bisa menjadi acuan untuk berdebat.
Namun sayang, hasil yang pro dan kontra ini hanya cukup "duduk manis" dalam forum diskusi. Selalu sama disetiap kondisi. Seakan-akan suatu masalah adalah salah. Namun jarang hasil forum diskusi ini dibawa langsung pada jajaran pemerintahan. Kenapa tidak ada lagi "Wali songo"nya Gus dur, Cak Nur, Cak Nun dkk saat ini. Seolah hanya berani duduk dan marah ketika dalam forum saja. Lalu apa solusinya?
Ketika masalah berhubungan dengan hal yang "intim" misalkan saja beras, maka yang dibutuhkan bukan hanya diskusi, tapi aksi dan kekhusu'an dalam mengkaji masalah ini. Tidak bisa ketika baru 1 jam wacana diedarkan ke publik. Langsung saja dihantam dengan kajian-kajian "Condrodimuko". Toh seusai diskusi, hasilnya tetap menjadi dokumen. Diskusi berhasil ketika latar belakangnya sudah cukup syarat. Maksut latar belakang disini yaitu kajian kecil-kecilan yang memang sudah fix hasilnya, kemudian baru dibuatkan kajian agung untuk penunjang fakta dan data serta masukan-masukan yang dikira kurang dalam kertas kerja ini. Kemudian dapat diarahkan kepada jajaran pemerintah terkai dengan format proposal, bukan format hasil diskusi. Kebanyakan kertas kerja hasil diskusi tidak terealisasi bukan karena hasilnya kurang solutif. Tapi karena format administrasinya kurang berkenan. Ibarat ketika kita melihat seorang lawan jenis, pasti mayoritas menilainya dari penampilan. Karena secara maknawi, tampilan luar mencerminkan ketegasan/kesiapan/kesungguhan.
Kemudian juga harus jelas konsep logika berfikirnya yang tertuang dalam isi proposal tersebut, bukan mengedepankan emosional. Yang sering terjadi berisikan" Harusnya Begini". Tapi, "Sebaiknya begini". Serta harus ada tenggang waktu jika proposal itu telah masuk dalam jajaran pemerintahan, kapan fedbacknya, kapan aksi lanjutanya. Ataupun dirasa sudah capek menangani masalah itu karena sponsornya tidak ada, paling tidak sudah dapat hasilnya sesuatu rentang waktu yang telah ditentukan dalam proposal tersebut. Sehingga nantinya meskipun usulan ditolak oleh pemerintah, kita bisa membawa kasus tersebut dalam kajian internal forum sendiri. Ataupun jika ingin bermain-main, maka sengaja dimuat dalam redaksi harian umum atau khusus. Atau bisa saja isu tersebut dilemparkan " tetangga". Biar tetangga juga ikut nimbrung dalam "Gosip" itu. Toh nanti juga memancing membengkaknya masa yang mau tidak mau pemerintahan terkait bersuara juga nantinya.
Sedikit Kisi-kisi
Jika masalah yang muncul kali ini terkait "Beras". Maka yang harus kita ketahui ialah asal mula bercocok tanam dalam skala global. Menurut ahli sejarah kebudayaan Verre Gordon Childe(Man Makes Himself. New York 1953). Bercocok tanam merupakan sebuah revolusi kebudayaan dalam segi mata pencaharian hidup. Hal ini terkait bagaimana mereka mencari bahan makanan yang sudah mulai berkurang akibat persaingan perburuan hewan. Tidak ubahnya ketika setiap komunitas suku atau etnis memutuskan untuk memilih " apa yang bisa dimakan?", para ilmuan antropologi sepakat bahwa awal mula bercocok tanam ialah perihal apa yang bisa ditanam, yang secara langsung berimplikasikan bahwa keputusan seseorang mencari mata pencaharian untuk keberlangsungan hidup ialah "apa yang bisa dimakan". Jadi tidak tidak semua biji tumbuhan ditanam. Hal ini berdampak pada setiap daerah tidak sama dalam hal komoditi tanam, ada yang mampu menanam biji beras, ada yang tidak. Bukan saja karena faktor tanah ataupun iklim. Namun juga faktor " apa yang menjadi makanan pokok" dimasa silam.
Sistem Kepemilikan tanah di Jawa masih menggunakan sistem Komunal bergiliran, sistem komunal tetap serta sistem milik individu. bahwa tanah pertanian itu dikuasai oleh desa dan boleh dipakai untuk bercocok tanam warga desa. Dalam sistem ini, pembagian tanah diatur oleh kepala desa. Dan tiyap dua, tiga atau lima tahun, seorang petani mendapat sebidang tanah untuk dikerjakan. Karena dalam sistem ini mengharuskan bergantian tanah untuk bercocok tanam, maka pembagian jadwal pemakaian tanah diatur oleh kepala desa dan kepala warga desa.
Akan tetapi karena desa tidak cukup luas untuk menampung warga desa yang semakin bertambah, maka akibatnya sebagian orang yang belum waktunya memakai tanah untuk bercocok tanam, terpaksa mencari mata pencaharian lain sampai waktu panen. Sedangkan dalam sistem komunal tetap, sebagian tanah diberikan kepada perangkat desa seperti kepala desa, penulis desa, pemegang kas desa, wakil kepala desa, penjaga keamanan desa, petugas pengatur irigasi desa selama orang tersebut masih aktif dan bisa dilanjutkan oleh anak-anaknya, namun jika orang tersebut tidak memiliki anak, maka hak tersebut diberikan kepada perangkat desa(Pamong Desa) baru. Sedangkan sistem milik pribadi biasanya berasal dari anggapan petani yang mengerjakan tanah tersebut entah ketika ia memegang jabatan ataupun setelah tidak memegang jabatan, serta mewariskanya pada keturunanya menurut hukum adat daerah tersebut. Di Jawa sendiri sistem pertanian memang sudah menggunakan bajak, entah menggunakan tenaga hewan atau motor listrik.
Dilihat dari pembagian sistem pembagian tanah pertanian ini, dapat dilihat bahwa sebenarnya komoditi beras sendiri, bisa dikontrol oleh aparatur pemerintah terkait. Serta untuk masalah pengolaan tanah pertanian sendiri masih menggunakan alat yang tidak jauh berbeda dari provinsi dan negara lain yaitu bajak, entah menggunakan tenaga hewan atupun mesin.
Jika memang demikian maka sebenarnya yang menjadi masalah merupakan cara pengawasan dan kontrol dari pihak-pihak yang terkait, Bukan terletak dalam aspek penunjang alat pertanian. Karena kita lihat bahwa secara tidak langsung, sistem pengelolaan tanahnya sendiri cukup masif.
Sedangkan kebijakan impor sendiri sebenarnya boleh dilakukan jika suatu negara tersebut kurang memadai dalam hal pengelolaan, pengawasaan serta pengadaan komoditi terkait. Jadi, ketika suatu kebijakan impor dilakukan maka sama artinya dengan komoditi beras di Indonesia sendiri, terutama dalam ruang lingkup Jawa mengalami krisis. Namun ketika komoditi tersebut masih bisa dipasok, dan dirasa masih menjangkau masyarakat, sebaiknya dirasa tidak perlu.
Sedangkan dalam satu sisi, setiap daerah mendapat bantuan dana dari pemerintah, jika memang dirasa beras kurang memadai untuk pasokan dua ataupun tiga tahun kedepan. Maka sebaiknya dana dari pemerintah untuk desa tersebut, difokuskan untuk lahan pertanian misalkan pembukaan lahan pertanian baru.
Ada hal unik juga soal pertanian di daerah Purwakarta, ada adat dimana menyewakan tanah dengan bayar belakangan yang dilakukan tuan tanah bagi orang yang memang membutuhkan uang dan menerima sebidang tanah untuk dekelola oleh si peminjam dengan menghadirkan pamong desa sebagai saksi. dengan syarat pembayaran berupa hasil bumi ketika pertama kali panen sebagai suku bunga pinjaman, dan untuk panen kedua, ketiga dst sebagai pengembalian hutang berupa uang. Contoh sederhananya, ketika si A meminjam uang ke tuan tanah sebesar 10 juta, maka si A mendapat uang itu secara langsung dan wajib mengerjakan tanah itu sampai hutangnya lunas serta saat prosesi itu harus ada saksi yaitu pamong desa. Panen 1 berhasil maka sebagian dikasihkan kepada tuan tanah itu berupa beras yang nilai nominalnya sesuai suku bunga, kemudian panen ke 2, 3 dst mengembalikan uang pinjaman sebagai cicilan berupa uang, bukan beras lagi.
Sekarang coba kita fikirkan, jika pemerintah memiliki sebagian tanah yang memang menjadi milik pemerintah, bukan presiden, bukan wakil presiden ataupun pengusaha. Maka ketika dirasa komoditi beras menurun di satu provinsi atau kabupaten. Maka pemerintah bisa mempekerjakaan petani yang panenya gagal ke provinsi atau kabupaten yang lain, namun tidak juga menerapkan sistem hutang, justru malah mirip dengan konsep sistem komunal bergantian. Serta murni pemberdayaan Petani. Selain sebagai proyek alternatif penunjang komoditi beras, juga bisa mengurangi pengangguran di negara ini.

Comments

Popular posts from this blog

Pendekatan Antropologi Terhadap Konsep Religi dalam diri Manusia