Pendekatan Antropologi Terhadap Konsep Religi dalam diri Manusia

Keadaan manusia yang masih menjadi misteri dalam ranah sains dan filosofis mendorong terjadinya beragam diskusi untuk mencari kesamaan paham, atau paling tidak kesepakatan mengenai What Is Human. Sajian kajian sains dan filosofis tidak akan dijabarkan dalam tulisan ini karena akan terlalu riskan dan masih terlalu awal untuk didefinisikan terkait topik "Manusia". Pada tulisan ini akan membahas salah satu aspek yang umum dalam berbagai lintas study soal manusia yaitu Religi. Religi secara umum diartikan sebagai upaya pencapaian rohani untuk mengenal Penciptanya. Secara filosofi dikenal dengan " tindakan penyatuan nilai jiwa dengan kemurnian nilai absolut". Serta secara sains disebut dengan "upaya-upaya rohani untuk mencapai tingkatan tertinggi yang menyangkut metafisis". Berbagai study dengan topik yang sama sering menjadi bahan Tesis maupun riset-riset yang lain dan tentunya memiliki kesimpulan beragam. Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya " Beberapa Pokok Antropologi Sosial" (1974) mengatakan bahwa masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi atau agama itu yang menyangkut kepercayaan manusia terhadap kekuatan yang dianggap lebih tinggi darinya telah menjadi objek perhatian ahli pikir sejak lama. Hal tersebut dikarenakan terdapat setidaknya enam persamaan pendapat. Pertama, manusia bersifat religi itu karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa. Kedua, karena timbulnya gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya. Ketiga, karena untuk menghadapi krisis-krisis yang menyangkut jangka waktu hidup manusia. Keempat, akibat kejadian-kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam sekelilingnya. Kelima, karena suatu getaran emosional yang timbul dalam diri manusia sebagai warga masyarakat. Keenam, karena mendapat suatu firman dari Tuhan. Dari keenam point yang diajukan sebagai bentuk perspektif antropologi dalam menyikapi topik "Religi" sebagai bahan diskusi kali ini menunjukan bahwa kesadaran manusia tentang sesuatu diluar kendali manusia berdasarkan pengalaman indrawi maupun alam sekitarnya, ternyata mampu mendorong manusia untuk mendekatkan dirinya dalam tataran nilai-nilai Religius.
Untuk sedikit mengenal lebih dalam "What is Religi" yang notabenya berasal dari dorongan hadirnya kesadaran adanya jiwa dalam diri manusia. Secara teoritis kesadaran adanya "Jiwa" itu sendiri menurut E.B. Tylor dalam bukunya Primitive Cultures (1873) (Koentjaraningrat, 1974: 229). Menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang melatar belakanginya. Pertama, perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu saat mahluk pada suatu waktu bergerak (hidup), tetapi tak lama kemudian mahluk tadi tak bergerak lagi(mati). Atas dasar pertama ini, manusia mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu atau hidup. Disebabkan oleh suatu disamping tubuh dan kekuatan itu disebut jiwa. Pendapaf kedua, berdasarkan peristiwa mimpi. Dalam mimpi, manusia melihat dirinya berada ditempat lain daripada tempat tidurnya. Dari situlah manusia mulai membedakan tubuh jasmani yang ada ditempat tidur, dan suatu bagian lain pergi ke tempat lain yang disebut jiwa.
Jiwa yang bersifat abstrak tadi menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Namun, selama manusia itu hidup, maka jiwa akan berada dalam tubuh jasmaniah. Dan akan melayang sementara ketika manusia itu tidur ataupun pingsan. Serta akan lepas secara menyeluruh ketika manusia itu mati. Menurut Tylor, alam semeseta penuh dengan jiwa-jiwa yang terlepas penuh (jiwa-jiwa merdeka) namun bukan soul (jiwa) lagi, tapi disebut spirit (mahluk halus). Dari transformasi kesadaran akan adanya jiwa inilah maka manusia menjadi kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus. Tylor sendiri membagi tiga tingkatan dalam evolusi religinya. Pertama, manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Yang mampu berbuat sesuatu yang tidak dapar dilakukan oleh manusia. Sehingga dikemudian hari menjadi objek penghormatan dan penyembahan dengan berbagai upacara doa, sesajen, atau korban (Ritual) dan disebut Animisme. Tingkat kedua, manusia mempercayai bahwa gerak alam hidup itu disebabkan adanya jiwa yang ada dibelakang peristiwa dan gejala alam. Misal, sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut (air terjun), gunung meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan, peredaran matahari, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dsb. Semuanya disebabkan oleh jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi dipersonifikasikan (diimajinasikan/layaknya) seperti mahluk-mahluk dengan suaru pribadi yang memiliki kemauan dan pikiran untuk berkehendak. Mahluk-mahluk halus yang berada di belakang gerak alam itu kemudian disebut sebagai dewa-dewa alam. Tingkat ketiga, bersamaan dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan di dunia mahluk manusia. Dari keyakinan ini, timbul asumsi susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa sebagai yanh tertinggi, sampai pada pangkat dewa yang terendah. Lambat laun, muncul kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa yang tertinggi, akibatnya dikemudian hari muncul kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa dan timbul agama-agama monotheisme.
Jika kita merefleksikan proses dialektika dalam diskursus terkait topik yang kita bahas kali ini, sudah sepatutnya kita mengambil intisari dari pandangan Yunani mengenai alam. Kenapa yunani? Meskipun catatan sejarah klasik menempatkan peradaban Mesir, Persia dan Cina sebagai peradaban tertua dan mewarisi beragam karya keilmuan. Tapi fakta historis dan pasca-renaisens, karya keilmuan yang berasal dari Yunanilah hingga saat ini masih relevan dengan perkembangan jaman dan diterapkan hampir diseluruh eropa, asia dan afrika. Tentunya selain karena faktor kolonialisme, sejarah politik internasionalah yang diprakarsai eropa, sehingga muncul study lintas negara dan budaya diberbagai benua. #Bisa dicek fakta-fakta sejarah mengenai asal keilmuan yang berpengaruh hingga saat ini. Kembali ke pembahasan, para filsuf alam Ionia. Para pemikir besar Yunani seperti Thales (630-546 SM), Anaximander (abad 6 SM), Anaximenes (550 SM), Pytagoreanisme (abad 5 SM), Plato(423-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM). Bagi mereka, yang menjadi pertanyaan hakiki adalah "Apakah yang merupakan Substansi asli yang tidak berubah-ubah yang mendasari semua perubahan dalam alam semesta yang kita kenal?" (Kattsoff, 2004 : 225-226). Orang-orang Yunani dimasa itu terkesan akan keteraturan dan keterlibatan yang tampak dalam alam kodrat yang mereka pandang sebagai alam benda-benda yang bergerak. Bagi mereka, keteraturan tersebut berasal dari "Jiwa" yang memaksakan ketertiban terhadap segala sesuatu. Dan bahkan Thales, filsuf tertua berpendirian bahwa apa saja yang tersusun dalam alam kodrat merupakan semacam mahluk yang "Mempunyai Jiwa".
Keberagaman dalam mengambil kesimpulan berdasarkan beragam study tentu bukan sesuatu yang mudah, mengingat pertimbangan aspek yang dikaji, maupun faktor yang diteliti keberadaanya. Ralph Linton (1984), mengatakan bahwa apabila kita membuat perbandingan antara tinjauan agama dengan tinjauan ilmiah terhadap keberadaan manusia, memang masing-masing berbeda tetapi bukan berarti bertentangan. Dalam topik kali ini, aspek kosmologi dengan manusia sebagai keberadaan di alam semesta ini, rupa-rupanya memang terbukti secara ilmiah bahwa secara eksistensinya, entah dari sudut pandang Antropologi, Filsafat, Agama, Parapsikologi dsbt. Manusia tidak berjalan sendiri, melainkan hidup berdampingan secara jasad dengan tubuh, hewan dan tumbuhan serta iklim. Melainkan juga secara rohani atau jiwa, berdampingan dengan yang tak terjamah oleh indrawi (Mahluk Halus). Ahli kesusastraan Inggris bernama A.Lang (1889) mengatakan, berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani ataupun Islam sebagai dua agama besar yang menyebar diseluruh dunia. Malahan, kepercayaan nampak seolah-olah terdesak kebelakang oleh kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus, dewa-dewa, ruh dsb. Kepercayaan  kepada dewa tertinggi merupakan kepercayaan yang sudah amat tua. Dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua.

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Makam Kanjeng Sepuh Sidayu