Mengkaji Fenomena Sarjana Pengangguran di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari katadata.co.id mengenai jumlah pengangguran per Februari 2019 berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menurun. tapi dari sisi pendidikanya, lulusan diploma dan universitas makin banyak yang tidak bekerja. jumlah Diploma yang menganggur berdasarkan pengamatan dari Februari 2017 sampai Februari 2019 mengalami kenaikan 8,5% dan pengangguran di kalangan sarjana dengan rentang waktu pengamatan yang sama sebanyak 25%. jika dilihat dari total penduduk bekerja di Indonesia sebesar 129,4 juta orang, tenaga kerja di Indonesia di dominasi lulusan sekolah dasar (SD) sebanyak 41%, sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 18%, sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 18%, sekolah menengah kejuruan (SMK) sebanyak 11%, universitas sebanyak 10 % dan diploma sebanyak 3%. sejumlah faktor yang dinilai menyebabkan meningkatnya pengangguran dikalangan diploma dan sarjana tersebut ialah ketrampilan tidak sesuai kebutuhan, ekspektasi penghasilan & status lebih tinggi dan penyediaan lapangan kerja terbatas. berbeda dengan pendidikan rendah yang cenderung lebih menerima pekerjaan apapun.
Apakah Benar Demikian Adanya?? berdasarkan penelitian yang dilakukan Adi A. (2016) tentang “Analisis Penyebab Tingginya Pengangguran Sarjana di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue” menunjukan bahwa faktor ketidak-seimbangan antara jurusan yang diambil oleh para lulusan sarjana dengan formasi yang dibuka oleh pemerintah daerah. salah satu contohnya adalah jurusan yang paling diminati di Kecamatan Simuele Barat adalah lulusan Pendidikan Agama Islam sementara formasi atau lowongan yang dibuka oleh pemerintah dalam penerimaan tenaga kontrak dan CPNS lebih cenderung lulusan kesehatan. Faktor yang paling utama dalam melakukan wirausaha atau pekerjaan adalah para lulusan sarjana harus berani berbuat, siap untuk mandiri dan siap melakukan hal apa saja yang sifatnya positif untuk kepentingan pribadi dan oranglain yang pada akhirnya membuahkan hasil yaitu memberikan lapangan pekerjaan untuk oranglain. hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Insan M. (2014) tentang “Sikap Kewirausahaan dan pengetahuan kewirausahaan serta pengaruhnya terhadap intensi berwirausaha” menunjukan bahwa mahasiswa memiliki keinginan untuk bekerja di instansi milik pemerintah atau swasta setelah lulus kuliah sebesar 63,3% lebih tinggi dari pada mahasiswa yang memiliki keinginan untuk menciptakan pekerjaan/usaha sendiri setelah lulus kuliah sebesar 16,6%.
Jika mengacu pada informasi Badan Pusat Statistik. faktor pemicu pengangguran di tingkat Diploma dan Sarjana ialah ketrampilan tidak sesuai kebutuhan, ekspektasi penghasilan & status lebih tinggi dan penyediaan lapangan kerja terbatas. serta melihat dari penelitian pertama menunjukan faktor pemicunya pengangguran dikalangan sarjana ialah faktor ketidak-seimbangan antara jurusan yang diambil oleh para lulusan sarjana dengan formasi yang dibuka oleh pemerintah daerah. salah satu contohnya adalah jurusan yang paling diminati di Kecamatan Simuele Barat adalah lulusan Pendidikan Agama Islam sementara formasi atau lowongan yang dibuka oleh pemerintah dalam penerimaan tenaga kontrak dan CPNS lebih cenderung lulusan kesehatan. sedangkan pada penelitan berikutnya menunjukan bahwa mahasiswa memiliki keinginan untuk bekerja di instansi milik pemerintah atau swasta setelah lulus kuliah sebesar 63,3% lebih tinggi dari pada mahasiswa yang memiliki keinginan untuk menciptakan pekerjaan/usaha sendiri setelah lulus kuliah sebesar 16,6%. persamaan dari ketiga sumber informasi yang telah dipaparkan sebelumnya ialah faktor pertama ialah ketrampilan yang dimiliki sarjana tidak sesuai kriteria kebutuhan instansi, lembaga dan perusahaan disetiap kabupaten/kota. faktor kedua ialah penyediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja baru khususnya perguruan tinggi terbatas atau bahkan kurang. untuk point kedua ini sulitnya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri masih rendah, jumlah tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. presentasenya jauh kecil ketimbang lulusan SD mencapai 60%.
Kebijakan, System atau Tenaga Pengajarnya yang perlu diperbaiki?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handayani T. (2015) tentang “Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Kebutuhan Tenaga Kerja di Era Global”. dengan pendekatan kuantitatif menggunakan data sekunder dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, BPS, ILO dan Bank Dunia serta berbagai hasil kajian yang relevan menunjukan bahwa berdasarkan data makro di Indonesia saat ini terdapat kecenderungan banyak dibuka Perguruan Tinggi (PT) baru secara massif dan lebih berorientasi profit tanpa diikuti dengan penyediaan sarana prasarana yang memadai dan berkualitas, sehingga menghasilkan jumlah lulusan yang terus meningkat. Di sisi lan, kesempatan kerja produktif di Indonesia juga terbatas, sehingga pengangguran terdidik relatif tinggi. persoalan lain, prediksi McKinsey Global Institute (MGI) menunjukan bahwa dalam pasar kerja global pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan mengalami kekurangan tenaga kerja terdidik dan terampil tetapi kelebihan tenaga kerja non terampil. Adanya kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga kerja berpendidikan juga didukung data ILO (2015) tentang tenaga kerja yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan dan ketrampilan yang proporsinya mencapai lebih dari separuhnya. adanya permasalahan tersebut semakin mendesak untuk diatasi sejalan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN maupun berbagai kesepakatan regional lain di tingkat global, karena kurangnya tenaga kerja terdidik dan terampil akan diisi oleh tenaga kerja asing. dengan demikian kerjasama dan sinergi perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri baik di tingkat nasional maupun internasioanl perlu ditingkatkan.
Kebijakan Pendidikan Tinggi diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 yang berbunyi:
Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
Kerja sama internaisonal harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Kerja sama internasional mencakup bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Kerja sama internasional dalam pengembangan pendidikan tinggi dapat dilakukan antara lain melalui:
hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu.
pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri
pembentukan komunitas yang mandiri
Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Kurang sinerginya Pemerintah dan Perguruan Tinggi tercermin disini dan terkesan hanya mengawasi saja. Pemerintah terlihat tidak ikut campur dalam urusan arah kemajuan pendidikan di dalam perguruan tinggi dan memberikan keleluasaan otonom bagi perguruan tinggi untuk mengatur dan mengelola kebijakan pendidikan sendiri yang seakan dilepas untuk melihat sendiri perkembangan jaman melalui sistem birokrasi pendidikan yang tidak selaras dari kebutuhan masyarakat yang semestinya dicantumkan dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan secara tersirat dalam memaknai transisi dari tahun ke tahun terkait perubahan sistem pendidikan nasional, secara tidak langsung kepentingan-kepentingan kapitalisme global juga tercermin dalam UUPT 2012 ini. hubungan pendidikan tinggi dan dunia usaha dalam UUPT mempertegas bahwa tujuan pendidikan tinggi saat ini adalah melayani kebutuhan inovasi pengusaha dan mencetak tenaga kerja terdidik sesuai dengan permintaan pasar yang juga telah disepakati Indonesia dalam perjanjian Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang merupakan badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan tanggung jawab internasional khusus mengenai ketenagakerjaan yang berkantor pusat di Jenewa. ILO mendukung Indonesia untuk mencapai tujuan menciptakan lapangan kerja yang layak melalui program dan kegiatan di tiga area utama. program-program ILO di Indonesia sebagai berikut:
Menghapuskan Eksploitasi di Tempat kerja:
Kemajuan yang efektif dengan pelaksanaaj Rencana Aksi Nasional tentang bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak.
Meningkatkan manajemen migrasi kerja dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja/buruh Indonesia, khususnya pekerja rumah tangga.
Penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan dan pemulihan mata pencaharian khususnya bagi kaum muda:
Target ketenagakerjaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah melalui kebijakan dan program dengan penekanan pada pertumbuhan lapangan kerja pro-kaum miskin.
pelaksanaan program ketenagakerjaan dan mata pencaharian yang intensif untuk wilayah terkena dampak krisis khususnya Aceh, Sumatra Utara dan sejumlah wilayah Indonesia Timur.
Sistem dan Kebijakan pendidikan dan pelatihan untuk membekali kaum muda dengan kemampuan kerja dan wiraswasta.
Dialog sosial untuk pertumbuhan ekonomi serta prinsip dan hak mendasar di tempat kerja:
Penerapan peraturan dan praktik ketenagakerjaan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja termasuk dengan memperkokoh administrasi ketenagakerjaan.
para pengusaha dan serikat pekerja/buruh melalui kerjasama biparit memperoleh hasil berupa fleksibilitas pasar kerja dan keamanan kerja.
Bidang-bidang penting lainya bagi dukungan ILO terkait dengan program kesetaraan gender, pengembangan program-program HIV/AIDS di dunia kerja, serta meningkatkan jaminan sosial melalui keselamatan dan kerja (K3). Dari sini terlihat bahwa memang kebijakan-kebijakan didalam negeri sangat terpengaruh oleh kebijakan luar negeri yang notabenya menginginkan negara-negara yang lahir pasca perang dunia 2 tetap menjadi negara pekerja bagi industri kapitalis eropa. sehingga ketetapan isi dari perjanjian sangat mengikat untuk terus menjadikan pekerja di tanah sendiri sebagai anggapan yang lumrah dan bahkan sampai merambah pada sistem pendidikan seperti di Indonesia saat ini. kesimpulan yang bisa dijadian pelajaran adalah mengkaji ulang pernyataan “Lulusan Sarjan di Indonesia kurang berkualitas”., Mengkaji ulang pernyataan “lulusan sarjana pilih-pilih kerja”. dan wacana impor rektor oleh Kemenrisetdikti baru-baru ini.
Comments
Post a Comment