Mengkaji Konflik SARA (Suku, Agama, Ras & Budaya) di Indonesia

Bangsa ini seolah selalu diusahakan untuk pecah-belah dengan mengusung topik “SARA (Suku, Agama, Ras & Budaya) yang dikemudian hari "Bertarung", berfikiran kita benar dan fikiran mereka salah. Lalu apa yang menjadikan mereka saling berdebat (Meskipun dalam dunia nyata bertukar gugatan secara Hukum Pidana) bahkan timbul kontak Fisik. Tentang siapa yang telah “Membunuh” Ayah dan Ibu (Sumber Hukum dan Dasar Negara”IDEOLOGI”)sehingga bertempur untuk saling membenarkan diri dan berubah menjadi “Hakim Jalanan”.Berikut rentetan konflik antar etnis di Indonesia berdasarkan Lembaga Survei Indonesi (LSI) :
1. Kasus Maluku dan Maluku Utara
Kasus ini terjadi di Maluku dan Maluku Utara sepanjang tahun 1999-2002. Total warga yang meninggal akibat kerusuhan ini mencapai angka 8.000-9.000 orang dan 70.000 orang lainnya mengungsi. Kerugian materi dalam kasus ini adalah 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak termasuk 46 masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah. LSI mencatat peran pemerintah ada dua sisi perbedaan dalam kasus ini. Di era Gus Dur dan Megawati, terjadi ketidaknetralan aparat keamanan dan pecahnya struktur pemerintah ke dalam dua komunitas. Di era SBY dan JK, terjadi kemajuan dengan adanya pemberlakuan darurat sipil, perjanjian Malino II dan penanganan pengungsi.
2. Kasus Konflik Sampit
Kasus ini terjadi pada tahun 2001 dan puncak konfliknya selama 10 hari. Tercatat 469 orang meninggal dan 108.000 orang mengungsi. Kerugian materi sebanyak 192 rumah dibakar dan 784 lainnya rusak, 16 mobil dan 43 sepeda motor juga hancur. LSI mencatat intelijen gagal mendeteksi dini gejala kerusuhan. Saat konflik terjadi, pemerintah pusat lamban melakukan darurat sipil dan Presiden Gus Dur saat itu tengah melakukan lawatan ke Timur Tengah dan Afrika Utara. Positifnya, pemerintah mengevakusi pengungsi dan mengirimkan pasukan tambahan baik Brimob maupun TNI dari luar Kalteng.
3. Kasus Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta
Pada peristiwa ini, sebanyak 1.217 orang meninggal, 85 orang diperkosa dan 70.000 orang mengungsi. Kejadian ini berlangsung selama 3 hari dari 13-15 Mei 1998 dengan kerugian materil diperkiaran mencapai Rp 2,5 triliun. Pemicunya karena terjadi penculikan aktivis, penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan memburuknya ekonomi saat itu. Kebanyakan etnis Tionghoa menjadi sasaran kemarahan.
4. Kasus Transito Mataram
Pada kasus ini sebanyak 9 orang meninggal, 8 luka-luka, 9 orang mengalami gangguan jiwa, 379 orang terusir dari rumahnya, 9 orang dipaksa cerai, dan 3 ibu keguguran. Kasus ini berlatar perbedaaan keyakinan pemeluk Ahmadiyah. Sejak tahun 1998-2006, terjadi 7 kali penyerangan kepada kelompok ini. Akibat konflik itu, 11 empat ibadah dan 144 rumah rusak serta harta beda dijarah.
5. Kasus Konflik Lampung Selatan
Kasus ini terjadi pada 27-29 Oktober 2012 di Kecamatan Kalianda dan Way Panji. 14 Orang dilaporkan tewas dan belasan luka parah. Sementara sebanyak 1.700 warga mengungsi.
*https://m.detik.com/news/berita/d-2125635/lima-kasus-konflik sosial-terburuk-pasca-1998
6.  2 Ormas Bentrok di Ciledug Hingga Jaksel
*https://www.kompas.tv/article/32277/selasa-11-9-2-ormas-bentrok-di-ciledug-hingga-jaksel
7.  Bentrok FBR dan PP di Jakarta Selatan
*https://m.liputan6.com/news/read/3643235/pelaku-bentrok-fbr-dan-pp-di-jakarta-selatan-teridentifikasi
8. Bentrok Mahasiswa Papua dengan Ormas Surabaya, 16 Orang Luka
*https://m.cnnindonesia.com/nasional/20181201150548-20-350396/bentrok-mahasiswa-papua-dengan-ormas-surabaya-16-orang-luka
Secara teoritis menurut prof koentjoroningrat konflik etnis  masyarakat Indonesia dipicu karena pemaksaan budaya dan agama (doktrin kepercayaan) yang di tunggangi oleh kepentingan politik demi mendapatkan kekuasaan atau legalitas hukum terhadap lahan ekonomi, sosial dan wewenang di suatu wilayah tertentu. Yang menggunakan doktrin kepercayaan sebagai alat pembenar ketika terjadi kontak fisik antar golongan. Penelitian yang dilakukan Department of Social Science, Payame Noor University, Tehran, Iran dibawah pimpinan Hossien Mohammadzadeh (2016) Menunjukan bahwa fenomena konflik antar etnis secara umum dipengaruhi bukan karena perbedaan budaya yang menyebabkan konflik tetapi politik, tujuan ideologis, dan ekonomi dari aktor internasional, terlepas dari apakah aktor tersebut negara bagian atau kelompok etnis. Mengingat kompleksitas konflik etnis dan budaya, tidak ada yang mudah untuk solusi masalah terkait. Oleh karena itu Mengembangkan pengelolaan konflik etnis dengan kebijakan partisipasi dan keadilan yang setara merupakan cara terbaik untuk mengatasi masalah ini,
 Berdasarkan data yang diperoleh LSI menunjukan fakta bahwa dari 8 kasus konflik antar etnis di Indonesia lebih terlihat karena faktor pengakuan eksistensi individu atau kelompok yang meluas menjadi kontak fisik antar etnis di wilayah tersebut. Penangan konflik antar etnis di sejumlah wilayah yang bersengketa oleh pemerintah dirasa belum sesuai dengan harapan dari kelompok yang saling berseteru. Sehingga kedepan, tidak menutup kemungkinan konflik yang sama akan terulang. Informasi ini diperkuat dari hasil riset Department of the Parliamentary Library (2001) tentang "Internal Conflict in Indonesia: Causes, Symptoms and Sustainable Resolution" mengatakan bahwa Dalam membahas penyebab dan perkembangan empat konflik di Indonesia adalah mungkin untuk membedakan antara tujuan dari mereka yang terlibat dalam konflik dan keluhan yang mengarah pada tujuan tersebut. Dalam dua kasus yang dibahas di sini, Aceh dan Irian Jaya, keluhan ekonomi, sosial dan politik telah menyebabkan kemerdekaan perjuangan. DiKalimantan, marginalisasi penduduk asli dan masyarakat ditandai oleh kurangnya lembaga 'sipil' yang independen dari negara itu diperburuk oleh perbedaan etnis telah menyebabkan 'pembersihan etnis' yang substansial. Di Maluku, persaingan untuk sumber daya ekonomi dan politik antar kelompok yang menentukan diri mereka sebagai Kristen atau Muslim, dengan latar belakang tradisional yang hilang struktur, telah menyebabkan kekerasan yang mau tidak mau dianggap sebagai karakter 'pengakuan'. Oleh karena itu, penangan khusus terkit konflik antar etnis di Indonesia harus lebih dikaji dengan sistematis. Untuk menjadi pijakan awal, bisa kita menggunakan pendekatan penanggulangan konflik antar etnis berdasarkan riset Mediasi berbasis kekuasaan pada dasarnya cacat. Ini bergantung pada kemampuan negara untuk mempengaruhi konflik dengan tekanan negatif dan insentif positif. Itu bergantung pada kurangnya netralitas negara ketiga. Ini bertujuan untuk memperoleh penyelesaian politik, bukan penyelesaian konflik yang mendasarinya. Ia tidak dapat menangani konflik di tingkat nilai karena negara tidak memiliki cara untuk menekan individu atau masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai mereka. Sementara mediasi berbasis kekuasaan telah mengakhiri banyak konflik di masa lalu, konflik yang paling sering diselesaikan dengan cara ini menghasilkan tiga hasil yang mungkin. Pertama, konflik diselesaikan demi kemenangan, seperti yang terjadi dalam mediasi AS atas kekalahan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang. Kedua, konflik diselesaikan demi negara mediasi. Memang, ini berlaku untuk hampir semua konflik yang dimediasi berbasis kekuasaan. Ketiga, pertempuran berhenti, tetapi konflik tidak diselesaikan. Ini adalah kasus dengan konflik Transkaukasia. Hampir tidak ada kasus mediasi berbasis kekuasaan menyelesaikan konflik yang mendasarinya. Mengapa? Karena gagal mengenali peran yang dimainkan level nilai dalam konflik. Mediasi berbasis kekuasaan tidak dapat mempertimbangkan tingkat nilai ini karena negara tidak memiliki sarana untuk menekan orang lain untuk mengubah nilai-nilai mereka.
Sebuah studi baru-baru ini mendaftar faktor-faktor paling penting yang membuat negosiasi berbasis kekuasaan berhasil. Mereka termasuk yang berikut: pihak ketiga harus dari sistem budaya yang sama dengan pihak yang bertikai; harus ada homogenitas internal antara anggota masing-masing pihak; hubungan kekuasaan harus simetris; konflik seharusnya tidak berlangsung terlalu lama sebelum negosiasi dimulai; dan isu-isu "keamanan nasional" dan "kedaulatan" tidak boleh menjadi pusat konflik, tetapi harus memiliki profil serendah mungkin (Ropers, II, 7). Namun konflik etnis memenuhi hampir semua kriteria ini (The Online Journal of Peace and Conflict Resolution, 1999 : Issue 2.4).
Intermezo :
Robert I. Rotberg dalam bukunya Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators (2011) membuat analisis tentang bagaimana sebuah negara menemui kegagalan dan perpecahan. Sebuah negara bangsa yang gagal diliputi suasana ketegangan. Mereka berkonflik dan diperebutkan sengit oleh faksi-faksi yang berperang. Sebagian besar negara yang gagal diawali dengan pasukan pemerintah yang memerangi satu atau lebih pemberontak bersenjata. Kerusuhan sipil, meluasnya ketidakpuasan publik dan pertentangan nilai yang hebat menjadi unsur-unsur pendorong sebuah konflik nasional. Meski ini bukan parameter yang selalu berujung pada bubarnya negara, tetapi bisa menjadi ciri khas dari sebuah negara yang kacau.



Comments

Popular posts from this blog

Pendekatan Antropologi Terhadap Konsep Religi dalam diri Manusia