Mengkaji Prostitusi

Prostitusi Secara etimonologi kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu pro-stituere artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata prostitutemerujuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau sundal dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS adalah orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau orang sundal. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut WTS, yang kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK *Drs. H. Kondar Siregar, MA, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Hal 1-3 ).
Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah: pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional* Bagong Suyanto, 2010, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Hlm.159-160). Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diartikan sebagai wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang￾ulang, diluar perkawinan yang sah dan mendapatkan uang, materi atau jasa *Simanjuntak. B, 1982, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, Hlm. 25 )
Kartini Kartono mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut *Kartono Kartini, 2005, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Press, Hlm. 214- 216 :
1.Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
2.Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu￾nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
3.Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Sejarah Prostitusi di Dunia
Dalam paparan hasil studi yang dilakukan Ehsan Rostamzadeh dari Faculty of Law Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan rekan-rekannya, disebutkan bahwa prostitusi mulai tumbuh sejak 4.000 tahun lalu di peradaban Mesir dan kemudian muncul di peradaban-peradaban kuno lainnya, seperti peradaban Asyura, Babilonia, dan Siberia. Yang membedakannya dengan praktik prostitusi modern adalah praktik prostitusi pada peradaban kuno dilakukan untuk kepentingan agama.
Dalam buku Love For Sale: A World History of Prostitution yang ditulis oleh Nils Johan Ringdal, disebutkan bahwa di wilayah Mesopotamia yang terletak di antara sungai Tigris dan Eufrat, terdapat berbagai suku yang tinggal di wilayah tersebut. Bangsa Sumeria yang hidup di Mesopotamia antara 5.500 hingga 4.000 tahun Sebelum Masehi merupakan orang-orang pertama yang membangun kuil. Pada masa itu, perempuan-perempuan yang mengabdi pada Dewi Ishtar, dewi cinta dan perang, akan menawarkan jasa kepada pada pria yang memberikan uang ke kuil mereka. Jasa yang ditawarkan adalah untuk menggunakan kekuatan suci yang berasal dari tubuh mereka, Dewi Ishtar sendiri merupakan pelindung dari pada pekerja seks yang disebut sebagai harimtu, baik itu yang menawarkan diri mereka di luar kuil, ataupun di tempat-tempat minum.
Sejarawan abad kelima Sebelum Masehi, Herodotus, pernah mengatakan ia pernah melihat wanita Babilonia berhubungan seks dengan pria asing di kuil Ishtar. Ia mengatakan, setiap wanita akan melakukannya setidaknya sekali seumur hidup. Bagi para gadis, beginilah cara mereka kehilangan keperawanan. Sementara di Suriah, Herodotus mengatakan wanita akan menjual rambut atau tubuh mereka dan memberikan uang tersebut untuk dewi cinta Astarte. prostitusi juga dilakukan di masa Mesir Kuno yang dibuktikan oleh lembaran papirus, lukisan, mitologi, dan berbagai tulisan mengenai prostitusi di masa tersebut. Dalam Encyclopedia of Relationships Across The Lifespan yang ditulis oleh Jeffrey S. Turner, prostitusi dianggap sebagai kejahatan yang tidak terhindarkan. Berbagai kota di Eropa memiliki peraturan untuk menertibkan prostitusi. Di Abad Pertengahan, prostitusi dilakukan untuk menghindari masalah moral yang lebih besar, seperti masturbasi misalnya yang dianggap sebagai dosa besar. Di Paris misalnya, para pekerja seks tidak diperbolehkan untuk masuk ke beberapa daerah di kota Paris. Sementara di kota-kota di Inggris, pekerja seks diharuskan memakai baju yang menandakan profesi mereka.
Prostitusi di Indonesia
Hasil riset Terence H. Hull, profesor emeritus dari Australian National University, yang telah dipublikasikan di jurnal Moussons pada 2017 menunjukan bahwa cikal bakal komersialisasi seks di Indonesia dimulai pada tahun 1852, saat pemerintah Belanda di Indonesia melegalisasi prostitusi. Pada saat itu, wanita-wanita yang menjadi pekerja seks komersial (PSK) mendapat julukan sebagai public women (wanita publik). Pada saat pembangunan rel kereta api Jawa yang menghubungkan Jakarta hingga Surabaya pada 1884, muncul tempat-tempat prostitusi besar dan terkenal, Indonesia beralih dikuasai Jepang.  Maka kemudian mulailah perbudakan seks yang dilakukan tentara Jepang terhadap wanita-wanita Indonesia, Bukan hanya wanita pribumi, wanita-wanita Belanda, serta wanita dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong pun dipaksa datang ke Jawa untuk menjadi jugun ianfu.
Sebuah Analisis Kasus di Jawa  dalam Buletin Psikologi UGM 1996 menunjukan bahwa Prostitusi adalah masalah yang menyangkut harkat. martabat. dan nilai kaum wanita. Masalah ini dapat disejajarlcan dengan perbudakan (Barry, 1979). dan keberadaannya pun bertentangan dengan Pancasila (Departemen Sosial Rl, 1984). Oleh karena itu "seharusnya" segala bentuk prostitusi tidak akan dijumpai di Indonesia. Namun demikian kenyataan yang sebaliknya yang ada. Mengatasi masalah prostitusi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya pendapat yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Di negara-negara liberal barat masih ada pandangan-pandangan yang pro dan kontra tentang prostitusi. Bahkan. di antara kaum feminis pun masih terjadi perdebatan seru mengenai masalah ini (Carpenter, 1994; Jolin, 1994). Di Indonesia prostitusi harus diberantas. Tetapi sementara itu arus informasi yang masuk ke Indonesia semakin terbuka. sehingga wajar jika pandangan-pandangan yang tidak sesuai dengan Pancasila akan ikut mempengaruhi sikap dan pandangan orang Indonesia, termasuk para pengambil keputusan, tentang prostitusi. Mungkinkah suatu hari nanti seorang wanita tuna susila dihargai sama dan sejajar dengan orang-orang dengan pekerjaan seperti sekretaris dan dosen?
Prostitusi di Indonesia sebagaimana di negara-negara seperti Philipina, India, Bangladesh, dan Jepang, menyangkut masalah penghidupan. Penghidupan ini bukan saja bagi wanita tuna susila itu sendiri, personal keamanan, dan tukang parkir saja (Jones dkk., 1995), melainkan juga bagi anak-anak, keluarga, dan sanak keluarganya (Murray, 1991; Davis, 1993). Akibatnya,  prostitusi menjadi semakin rumit. Murray (1991) menemukan bahwa seorang wanita tuna susila dapat membantu hingga 18 sanak familinya Oleh karena itu  banyak dijumpai daerah "penghasil" tersebut tersebar beberapa daerah di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara. Jones dkk. (1995) menyebutkan daerah tuna susila di kecamatan Indramayu. menurut Murray (1991), mempunyai reputasi sebagai pemasok wanita tuna susila, membuat kebanggaan tersendiri bagi beberapa daerah di Jawa Barat Mengapa daerah-daerah tersebut kemudian berkembang menjadi "penghasiI'', Banyak hal yang diduga menjadi penyebabnya. Modeling, aspirasi material, sikap terhadap perkawinan, dan sikap permisif lingkungan, motif sosial (Koentjoro, 1988) adalah faktor-faktor yang berpengaruh kuat dalam pembentukan seorang wanita menjadi wanita tuna susila.
       Kementerian Sosial pada tahun 2012 mencatat ada 161 lokalisasi di Indonesia. Jawa Timur menempati ranking pertama dalam jumlah lokalisasi dengan 53 tempat yang tersebar di 16 kabupaten/kota, Jawa Timur menempati ranking pertama dalam jumlah lokalisasi dengan 53 tempat yang tersebar di 16 kabupaten/kota. Namun seiring dengan waktu, ada 20 lokalisasi yang ditutup. Hingga kini, hanya 33 tempat pelacuran saja. Khusus di kota Surabaya, dari 6 tempat lokalisasi yang terdaftar, semuanya sudah ditutup. Terakhir adalah Dolly dan Jarak. Kabupaten Banyuwangi yang pernah memiliki 8 lokalisasi, kini juga sudah habis. Di Jawa Barat, dari 13 lokalisasi, hingga tahun 2012 baru 2 yang ditutup, yakni Saritem dan Gardujati. Sumatera Selatan misalnya, hanya memiliki satu lokalisasi, namun sudah ditutup. Sementara di Kalimantan Timur ada 32 lokalisasi dan Kalimantan Tengah 12 tempat.
Pengguna Jasa Prostitusi dan PSK Tak Jadi Tersangka
       Tak ada pasal yang bisa digunakan menjerat pengguna PSK maupun PSK dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan KUHP hanya bisa digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo dan Pasal 506 KUHP. Pasal 296 "Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah." Pasal 506 "Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun."
Women & Criminal Justice 2000, 29-64. Melissa Farley & Vanessa Kelly Prostitution:  a critical review of the medical and social sciences literature Dalam literatur terbaru tentang pelacuran, ada fokus pada HIV yang cenderung mengecualikan diskusi tentang kekerasan fisik dan seksual yang mendahului dan yang intrinsik dengan pelacuran. Literatur dua periode waktu (1980-84 dan 1992-1996) ditinjau secara kritis untuk menggambarkan tren, Industri seks komersial adalah pasar global bernilai miliaran dolar yang mencakup klub strip, tempat pelacuran, telepon seks, pornografi dewasa dan anak, pelacuran jalanan, pelacuran, dan pelacuran. Perspektif politik seseorang akan menentukan apakah prostitusi dipandang terutama sebagai masalah kesehatan masyarakat, sebagai masalah penetapan nilai dan nilai properti (bagian mana dari kota yang seharusnya menampung klub strip dan toko pornografi?), Sebagai pilihan kejuruan, pembebasan seksual, sebagai kejahatan kecil , sebagai kekerasan dalam rumah tangga, atau sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi sebagian besar perempuan yang dilacurkan di dunia, pelacuran adalah pengalaman diburu, dikuasai, dilecehkan, diserang, dan dipukuli. Intrinsik terhadap pelacuran adalah banyak pelanggaran hak asasi manusia: pelecehan seksual, perbudakan ekonomi, perampasan pendidikan, diskriminasi pekerjaan, kekerasan dalam rumah tangga, rasisme, klasisisme, kerentanan terhadap serangan fisik dan seksual yang sering terjadi, dan menjadi sasaran invasi tubuh yang setara dengan penyiksaan.
Dalam prostitusi, permintaan menciptakan pasokan. Karena pria ingin membeli seks, pelacuran dianggap tidak terhindarkan, oleh karena itu 'normal'. Namun, ambivalensi pria tentang pembelian wanita tercermin dalam kelangkaan relatif dari wawancara penelitian dengan hidung belang, dan keinginan mereka untuk tetap bersembunyi. Dalam serangkaian wawancara dengan hidung belang yang dilakukan oleh wanita yang dipekerjakan oleh rumah pelacuran, Plumridge mencatat bahwa di satu sisi, mereka percaya bahwa seks komersial adalah pertukaran yang saling menyenangkan, dan di sisi lain, mereka menyatakan bahwa pembayaran uang menghilangkan semua masalah sosial dan sosial. kewajiban etis (1997). Satu john berkata: Ini seperti akan menyelesaikan mobil Anda, Anda memberi tahu mereka apa yang ingin Anda lakukan, mereka tidak bertanya, Anda memberi tahu mereka bahwa Anda ingin begitu dan begitu selesai (McKeganey & Barnard, 1996, halaman 53).
Konteks budaya seksisme dan rasisme harus dipahami untuk menawarkan pilihan nyata bagi perempuan yang berisiko untuk pelacuran (Alegria et al., 1994; Karim et al., 1995; Hardesty & Greif, 1994; Silbert dan Pines 1983) . Studi tentang kekerasan terhadap perempuan menunjukkan bahwa untuk memprediksi perilaku agresif seksual, kita harus memperhitungkan beberapa variabel yang menghubungkan sifat individu dan budaya kekerasan seksual (Crowell & Burgess, 1996). Pornografi, misalnya, adalah bentuk propaganda budaya yang menegaskan gagasan bahwa perempuan adalah pelacur. Seorang pria mengatakan saya sangat percaya bahwa semua wanita adalah pelacur pada satu waktu atau yang lain (Hite, 1981, halaman 760). Sejauh setiap wanita diasumsikan telah memilih prostitusi secara bebas, maka itu mengikuti bahwa kenikmatan dominasi dan pemerkosaan adalah sifatnya, yaitu, dia adalah seorang pelacur (Dworkin, 1981).
Membahas pengalamannya di klub telanjang, seorang pria berkata, Ini adalah bagian dari saya yang masih bisa berburu (Frank, 1999, halaman 22). Perilaku kekerasan terhadap wanita telah dikaitkan dengan sikap yang mempromosikan kepercayaan pria bahwa mereka berhak mendapatkan akses seksual ke wanita, bahwa mereka lebih unggul daripada wanita, dan bahwa mereka dilisensikan sebagai agresor seksual (White & Koss, 1993). Mitos pelacuran adalah komponen penting dari sikap yang menormalkan kekerasan seksual. Monto (1999) menemukan bahwa hidung belang penerimaan seksualitas terkomodifikasi sangat terkait dengan penerimaan mereka terhadap mitos perkosaan, seks yang kejam, dan penggunaan kondom yang lebih jarang dengan wanita dalam pelacuran. Tangkapan hidung belang yang diterima tingkat penerimaan mitos pelacuran adalah sama dengan perguruan tinggi dan perempuan penerimaan mitos pelacuran (Farley et al, 1998).Pelacuran harus diekspos sebagaimana adanya: bentuk kekerasan laki-laki yang sangat mematikan terhadap perempuan. Fokus penelitian, pencegahan, dan penegakan hukum pada dekade berikutnya harus berada pada sisi permintaan prostitusi.

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Pendekatan Antropologi Terhadap Konsep Religi dalam diri Manusia