Mengkaji Ulang Standart Pendidikan Nasional

Pendidikan menjadi ranah paling menentukan arah kemajuan suatu negara. Kebijakan pendidikan yang mumpuni dan berkarakter, sudah sewajarnya menjadi batu loncatan yang apik demi terselenggaranya iklim persaingan yang kompeten antar warga negara. Kompeten dalam kajian ini meliputi aspek pengetahuan, wawasan, sikap dan tanggung jawab yang mampu dijabarkan dalam bentuk perilaku sehari-hari. Pendidikan ibarat dua mata pisau yang tajam, disatu sisi beperan kunci sebagai terbentuknya generasi yang mampu mencipatakan, membentuk, menganalisis dan memberi solusi yang berguna bagi wilayah atau daerah di tempat asal mereka. Namun, akan lebih berbahaya jika pendidikan sengaja tidak diarahkan dengan baik oleh pemangku jabatan yang akhirnya membentuk generasi tanpa arah berperilaku. Tentunya dalam hal ini akan sangat menjadi boomerang bagi negara jika pendidikan tidak efektif dan berkualitas. Sehingga negara akan menjadi besar secara kuantitas SDM namun rendah ketrampilan dan wawasan. Tentunya masalah ini juga akan menjadi tanggungan berat bagi negara itu sendiri. Bagaimana tidak menjadi tanggungan jika banyaknya kuantitas SDM tidak malah memberikan pembaruan dan kemajuan negara namun justru menjadikan negara itu kacau karena ketimpangan sosial makin lebar dan angka usia produktif yang semestinya menjadi tulang punggung negara justru malah menjadi tanggungan negara yang sama sekali tidak menghasilkan apapun dan akibatnya pasti pinjaman utang ke negara lain.
Ambil contoh misal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Agustina1, Mohd. Nu Syechalad2, Abubakar Hamzah 3 (2018)  tentang "PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, TINGKAT PENGANGGURAN DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH" menunjukan bahwa tingkat pengangguran dan tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan sedangkan jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Saran yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memperhatikan peningkatan kualitas SDM, dengan cara membuat pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan tenaga kerja agar bisa bersaing dalam memperoleh pekerjaan sehingga tidak terjerat dalam kemiskinan. Serta terdapat beberapa aspek yang menonjol ialah 1. Mayoritas masyarakat Aceh masih bekerja di sektor pertanian, jumlah angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian tidak ditentukan berdasarkan pendidikan atau kemampuan melek huruf. 2. Kurangnya kemampuan dan keahlian tertentu untuk bersaing dalam mencari pekerjaan yang lebih baik. Jadi tidak cukup dengan berbekal melek huruf mereka dapat terhindar dari kemiskinan.
Dari Penelitian awal ini menunjukan bahwa memang kualitas pendidikan yang sesuai dengan karakteristik di setiap wilayah harusnya juga dk fikirkan oleh pemangku kebijakan agar lebih mengkaji lagi tolak ukur apa yang sesuai di setiap daerah atau kabupaten yang nantinya akan muncul ciri perekonomian berdasarkan kemajuan pendidikan yang unik dari setiap daerah demi menunjang kebutuhan nasional. Lalu kita akan melihat penelitian dengan kajian yang sama yaitu pendidikan di benua eropa. Menurut hasil penelitian Amalia Cristescu (2017) mengenai "THE IMPACT OF EDUCATION ON THE UNEMPLOYMENT RATE IN THE SOUTHERN EUROPEAN MODEL" menunjukan bahwa  Pengangguran adalah salah satu prioritas utama masyarakat dan, dalam hal ini, ekonomi dan sosial struktur negara mana pun harus melakukan segala upaya untuk menguranginya. Di tingkat UE, pasar tenaga kerja dipengaruhi secara berbeda oleh krisis ekonomi pada akhirnya 2007. Efek negatif dari periode pasca krisis pada pasar tenaga kerja bergantung pada keduanya reformasi diadopsi dan pada karakteristik masing-masing ekonomi. Di negara - negara Model Eropa Selatan, kita dapat mengidentifikasi sejumlah kekhasan pasar tenaga kerja yang telah dibuat efek dari krisis lebih menonjol. Jadi, di sebagian besar negara Mediterania, kita dapat melihat pasar tenaga kerja tersegmentasi diatur oleh undang-undang yang kaku dengan fleksibilitas tenaga kerja yang rendah, dengan upah kaku dan biaya perlindungan sosial yang tinggi. Analisis statistik dari indikator utama yang mempengaruhi pengangguran mengindikasikan adanya beberapa aspek sensitif di negara-negara dalam model Eropa Selatan. Jadi, dalam Yunani, ada situasi kritis di level sebagian besar indikator yang dianalisis. Pengangguran di antara orang muda dan bagian orang yang berisiko kemiskinan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, sementara tingkat orang muda yang tidak terlatih secara profesional dan tidak menghadiri program pendidikan atau pelatihan apa pun, meskipun sedikit menurun, masih pada tingkat yang tinggi. Di Malta dan Portugal, kaum muda pengangguran masih cukup tinggi, tetapi telah membaik akhir-akhir ini. Namun, perubahan positif ini belum membuat efeknya di bidang sosial, karena risiko kemiskinan dan tingkat pengucilan sosial, serta indikator ketimpangan pendapatan masih pada tingkat yang signifikan. Di Spanyol, Italia, dan Siprus, perkembangan tingkat pengangguran dan kaum muda yang tidak terlatih dan melakukannya secara profesional tidak menghadiri program pendidikan atau pelatihan apa pun yang mengalami sedikit peningkatan (dari sangat tinggi level), sementara situasi pengangguran di kalangan kaum muda, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan tetap menjadi tantangan.
        Analisis ekonometrik menyoroti aspek makroekonomi yang tepat di tingkat Model Eropa selatan. Dengan demikian, selama periode dianalisis (2007-2016) ditunjukkan bahwa peningkatan angka pengangguran di antara negara-negara Mediterania ditentukan oleh beberapa faktor, terutama pendidikan. Selain tingkat FDI dan pertumbuhan PDB riil, saya juga punya mengidentifikasi tingkat pengeluaran publik untuk pendidikan dan tingkat kelulusan pendidikan tersier (30-34) tahun) sebagai faktor yang dapat menyebabkan pengurangan tingkat pengangguran. Pada saat yang sama lebih awal meninggalkan sekolah dari kaum muda akan menyulitkan mereka untuk mencari pekerjaan dan dengan demikian mereka akan bergabung dengan para penganggur, dan lebih buruk lagi, para penganggur jangka panjang. Meski belakangan ini, negara-negara Eropa Selatan telah mengembangkan strategi dan mengadopsi serangkaian reformasi untuk menyadarkan pasar tenaga kerja dan memungkinkan inklusi sosial, mereka belum membuat efeknya sepenuhnya dirasakan dan dengan demikian kebijakan pemulihan ekonomi dan sosial perlu dilanjutkan. ini diperlukan untuk ekonomi secara keseluruhan, dan negara khususnya, untuk melakukan lebih banyak upaya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan, secara implisit, penciptaan lapangan kerja baru. Implementasi lebih lanjut dari strategi dan tindakan khusus negara serta fokus pada reformasi struktural akan sangat penting untuk perbaikan berkelanjutan dari situasi yang ada di pasar tenaga kerja di semua negara anggota UE dan, secara implisit, negara-negara di Eropa Selatan model.
Dari kedua penilitan ini menunjukan bahwa pentingngya SDM terdidik dan berkualitas menjadi kebutuhan utama di setiap wilayah dan negara. Oleh karenanya, arah kebijakan pendidikan yang dirumuskan oleh kementrian pusat sewajibnya menimbang dan menganalisa potensi di wilayah tersebut bukan hanya berfokus pada potensi alamnya saja. Melainkan pada karakteristik usia dan ketrampilan, bakat dan minat di setiap wilayah yang nantinua dirumuskan dalam kurikulum nasional yang bersumber dari kultur masyarakat itu sendiri. Mungkin bisa menjadikan pembelajaran yang konkrir terkait "penjaringan" potensi setiap wilayah dengan belajar dari cara amerika. Contohnya seperti ini Penilaian Pendidikan Nasional Amerika Serikat Kemajuan (NAEP) Penilaian Kemajuan Pendidikan Nasional (NAEP) adalah yang terbesar perwakilan nasional dan penilaian berkelanjutan tentang apa yang dilakukan Amerika siswa tahu dan dapat melakukannya di berbagai bidang pelajaran. Penilaian dilakukan secara berkala dalam matematika, membaca, sains, menulis, seni, kewarganegaraan, ekonomi, geografi, sejarah AS, dan awal tahun 2014, dalam teknologi dan melek teknik.
        Karena penilaian NAEP dilakukan secara seragam menggunakan set tes yang sama buklet di seluruh negara, hasil NAEP berfungsi sebagai metrik umum untuk semua negara dan kabupaten kota terpilih. Penilaian pada dasarnya tetap sama dari tahun ke tahun, dengan hanya perubahan yang didokumentasikan dengan cermat. Ini memungkinkan NAEP untuk menyediakan gambaran yang jelas tentang kemajuan akademik siswa dari waktu ke waktu. Buklet Contoh Pertanyaan adalah buklet informasi umum tentang NAEP penilaian. Mereka diberikan ke sekolah yang berpartisipasi sehingga administrator dan guru akan memiliki gagasan tentang apa yang diharapkan selama penilaian. Di Selain itu, buklet memberi guru dan orang tua siswa yang berpartisipasi kesempatan untuk memeriksa jenis pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa.
      Buklet Contoh Pertanyaan berisi banyak fitur tes yang sebenarnya buklet, termasuk instruksi, contoh pertanyaan bidang subjek dan siswa tanggapan dari penilaian NAEP sebelumnya, dan pertanyaan tentang siswa kegiatan dan karakteristik yang terkait dengan pendidikan dan subjek yang dinilai. Mereka juga menyertakan deskripsi kerangka kerja untuk setiap mata pelajaran yang dinilai. Staf lapangan NAEP pergi ke sekolah-sekolah di seluruh negara untuk mengelola penilaian latihan untuk siswa yang merupakan bagian dari sampel NAEP. Guru dan kepala sekolah diminta untuk mengisi kuesioner untuk memberikan konteks untuk hasil siswa. Itu Staf lapangan NAEP bertanggung jawab untuk melakukan penilaian dan ekstensif program jaminan kualitas.
      Staf lapangan NAEP mengumpulkan dan melindungi data penilaian NAEP untuk menjamin akurasi dan integritas serta memberikan dukungan dan mengurangi beban sekolah yang berpartisipasi selama proses penilaian. Staf lapangan NAEP menerima pelatihan ekstensif dalam mengelola penilaian NAEP.Dewan Pengkaji Penilaian Nasional menetapkan kebijakan untuk NAEP dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kerangka kerja dan menguji spesifikasi yang berfungsi sebagai cetak biru untuk penilaian. Dewan pengurus 26-anggota, dibuat oleh Kongres pada tahun 1988, adalah kelompok bipartisan yang independen yang anggotanya termasuk gubernur, legislator negara bagian, pejabat sekolah lokal dan negara bagian, pendidik, bisnis perwakilan, dan anggota masyarakat umum. Anggota ditunjuk oleh Sekretaris Pendidikan tetapi tetap independen dari departemen (Reviews of National Policies for Education, 2015: 322).
Kemudian muncul pertanyaan, kira-kira aspek apa saja yang bisa dijadikan pijakan awal pengambilan keputusan terkair kebijakan Standart Pendidikan Nasional bagi masyarakat Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa keputusan anak untuk bekerja atau sekolah adalah berbeda. Kedua kegiatan ini juga dipengaruhi oleh gender kepala rumah tangga, pendidikan, dan pendapatan orang tua. Lokasi tempat tinggal hanya berpengaruh pada intensitas anak bekerja dan bukan pada pendidikan anak. Rumah tangga di Indonesia yang memiliki anak usia 7-14 tahun didominasi oleh rumah tangga yang bertempat tinggal di pedesaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas rumah tangga memiliki aktivitas utama yang berkaitan dengan sektor primer seperti pertanian. Peranan laki-laki sebagai kepala rumah tangga masih tergambar pada rumah tangga di Indonesia dimana lebih dari setengah rumah tangga tersebut memiliki kepala rumah tangga laki-laki. Persentase anak perempuan usia 7-14 tahun hampir seimbang dengan anak laki-laki dalam kelompok usia yang sama dan mayoritas anak￾anak tersebut masih sekolah. Namun demikian, tidak sedikit anak yang bekerja untuk membantu meringankan beban rumah tangga baik dengan bekerja untuk upah ataupun membantu dalam pekerjaan rumah tangga.
karakteristik orang tua yaitu pendapatan orang tua dan gender kepala rumah tangga yang secara signifikan berperan dalam keputusan anak untuk bekerja. Kedua variabel ini memiliki hubungan positif dengan probabilitas anak untuk bekerja. Jika kepala rumah tangga adalah seorang perempuan, maka probabilitas anak untuk bekerja lebih besar 67,4 persen dibandingkan jika kepala rumah tangganya adalah laki-laki. Secara statistik, tidak ada perbedaan antara status bekerja anak yang tinggal di desa ataupun kota. Namun jika dilihat korelasi yang negatif menunjukkan anak di desa lebih besar kemungkinannya untuk bekerja. Berdasarkan gender anak, tidak ada pembedaan antara anak laki￾laki dan perempuan untuk bekerja pada usia kelompok tersebut meskipun secara nilai menunjukkan bahwa anak perempuan kemungkinan untuk bekerja.
     Latar belakang sosial budaya seperti sistem sosial patriarki dimana sistem ini mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia tetap menempatkan nilai anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, demikian juga dalam hal tanggung jawab. Jika anak tetap harus bekerja, maka anak laki-laki akan bertanggung jawab untuk bekerja dengan orientasi pasar (bekerja untuk memperoleh upah) sedangkan anak perempuan akan melakukan pekerjaan￾pekerjaan domestik. Demikian pula dengan anak di desa, dimana intensitas anak bekerja di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tinggal di perkotaan.Anak di desa bekerja 2 jam lebih lama dibandingkan anak di perkotaan. Seperti diketahui, mayoritas masyarakat pedesaan bergerak di sektor pertanian. Sudah menjadi hal yang umum dimana anak diperbantukan sebagai tenaga kerja rumah tangga untuk bekerja di sawah. Anak-anak biasanya tetap membantu orang tua mereka untuk bekerja di lahan pertanian mereka walaupun mereka bersekolah.
      Tidak hanya karakteristik anak yang memiliki hubungan negatif dengan intensitas anak bekerja, karakteristik orang tua juga menunjukkan hal yang sama. Pendapatan dan tingkat pendidikan orang tua berpengaruh signifikan terhadap intensitas anak bekerja. Anak dengan orang tua berpendidikan tinggi memilik jam kerja 1,5 jam lebih sedikit dibandingkan anak dengan orang tua berpendidikan rendah. Orang tua berpendidikan tinggi menilai waktu anak di luar bekerja seperti waktu untuk sekolah akan memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan jika anak bekerja sehingga mereka cenderung mengurangi intensitas anak mereka untuk bekerja. Pendapatan orang tua juga berpengaruh negatif terhadap intensitas bekerja anak. Semakin tinggi pendapatan orang tua, semakin sedikit waktu anak untuk bekerja. Kemampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya semakin besar seiring dengan peningkatan pendapatan sehingga anak-anak tidak lagi perlu masuk ke pasar tenaga kerja. Alokasi waktu anak untuk bekerja atau sekolah tidak saja dipengaruhi oleh karakteristik anak itu sendiri tapi juga karakteristik orang tua dan lokasi tempat tinggal. Masing-masing karakteristik memiliki peranan yang berbeda-beda. Dengan demikian, pola-pola kebijakan dalam jangka pendek akan lebih efisien bila diberikan kepada orang tua yang berpengaruh langsung terhadap alokasi waktu aktivitas anak. Namun dalam jangka panjang, program sebaiknya menyasar kepada anak dengan memberikan pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik sehingga nantinya ketika dewasa, anak-anak tersebut memiliki pola pikir bahwa pendidikan penting untuk masa depan (PIRAMIDA Vol. X No. 2 : 86 - 93).
Hanya sekedar mengingatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia diatur dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang￾Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II

DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
 (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
 (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
 (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
 (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
 (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
 (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
 (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
 (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
 (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6
 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
 (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
 (1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
 (2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
*Untuk Bab dan Pasal selanjutnya bisa di pelajari sendiri.
#Efektifkah Sistem Zonasi??
#KTSP atau K13??

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Pendekatan Antropologi Terhadap Konsep Religi dalam diri Manusia