Kajian Puasa Dalam Perspektif Kesehatan Manusia

Puasa merupakan salah satu pembelajaran lama yang bertahan dari masa ke masa. Bahkan dalam dunia medis, puasa sangat dianjurkan untuk menistirahatkan organ dalam manusia dan mensterilkan racun didalamnya. Terlepas dari sebelum datangnya agama-agama monotisme, puasa sudah menjadi "Ritual" wajib bagi masyarakat diberbagai daerah untuk laku spiritual maupun menjaga kesehatan jasmani. Riset dari National Journal of Laboratory Medicine, University Shahrekord, IRAN (2015) tentang Puasa terhadap kecerdasan emosional menunjukan bahwa Puasa berpengaruh positif terhadap dimensi kecerdasan emosional diantaranya meningkatkan identifikasi diri, toleransi dan empati stress. Serta berkontribusi positif terhadap pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pengendalian diri, dan fungsi sosial. Betapa pentingnya kemampuan mengelola emosional tentu menjadi kebutuhan manusia untuk dapat mengontrol dan mengenali diri sendiri agar mampu beradaptasi di berbagai tempat dan optimal dalam menjalankan tanggung jawab. Daniel Goleman, Ph.D. dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa sering kita jumpai bahwa orang-orang yang ber-IQ tinggi sering gagal dalam mencapai kesuksesan. Dan justru orang-orang yanh ber-IQ sedang mampu menjadi sukses karena faktor-faktor kecerdasan emosionallah yang mencakup kesadaran diri, kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati serta kecakapan sosial. Merupakan penentu seseorang itu mampu terus produktif atau tidak dalam tugasnya, letak kecerdasan emosional menjadi kunci seseorang mampu menjadi sukses atau tidak dalam tanggung jawabnya.
Efek puasa secara neurobiologi dalam hal ini sebagai terapi gangguan suasana mood (Mood Disorder) dalam jurnal INSERM U955 University Paris-Est, FondaMental Fondation, Fondation de Coopération Scientifique.,France. Menyebutkan bahwa mekanisme biologis yang diaktifkan selama berpuasa bisa berpengaruh pada fungsi otak mengalami peningkatan mood pada pasien gangguan suasana mood terbukti efektif. Tentunya dari penelitian ini menunjukan bahwa dalam terapi psikologispun, puasa terbukti efektif sebagai salah satu treatmen penyembuhan gangguan mood disorder pada pasien. Puasa tidak hanya baik bagi kesehatan Psikologis manusia saja. Dalam Jurnal Trepanowski and Bloomer Nutrition (2010) menyebutkan Puasa dari Berbagai agama dalam subjek penelitian kali ini yaitu Islam dan Kristen Ortodok Yunani menunjukan bahwa puasa mempengaruhi modifikasi diet seseorang, tentunya atas pertimbangan waktu puasa dan asupan makanan berdasarkan ketentuan agama masing-masing ternyata bisa menjadi moment perbaikan kesehatan fisik seseorang secara relatif lebih besar. Artinya, puasa sebagai salah satu modifikasi diet seseorang untuk menjaga kesehatan fisik terbukti efektif dan positif bagi manusia. Segudang manfaat puasa secara empiris rasanya hanya berhenti pada konteks pemahaman saja hingga saat ini dan bahkan dalam trend sekarang ini, puasa hanya dikaitkan dengan aspek religiusitas dan tanpa mengulas lebih dalam untuk menemukan "Kenapa Kita Harus Puasa" yang tentunya akan menjadi salah satu kebiasaan menjaga kesehatan fisik maupun rohani tanpa merasa "Enggan" ataupun berpikir ulang memasukan Puasa dalam jadwal kegiatan kebugaran kita.
Mark P. Mattson (2015) dalam artikelnya yang berjudul "Lifelong brain health is a lifelong challenge: From evolutionary principles to empirical evidence" menyebutkan bahwa Meskipun otak manusia luar biasa dalam hal ukuran dan kemampuan pemrosesan informasi, ia serupa ke mamalia lain sehubungan dengan faktor-faktor yang mempromosikan kinerja optimalnya. Tiga faktor tersebut adalah tantangan latihan fisik, kekurangan / puasa makanan, dan keterlibatan sosial / intelektual. Karena ia berevolusi, sebagian, untuk keberhasilan dalam mencari dan memperoleh makanan, otak berfungsi paling baik ketika itu individu lapar dan aktif secara fisik, seperti dicirikan oleh singa yang lapar menguntit dan mengejar mangsanya. Memang, studi model hewan dan subyek manusia menunjukkan efek menguntungkan yang kuat dari reguler latihan dan pembatasan energi / puasa intermiten pada fungsi kognitif dan suasana hati, terutama dikonteks penuaan dan gangguan neurodegeneratif terkait. Sayangnya, revolusi pertanian dan penemuan teknologi upaya-hemat telah menghasilkan pengurangan dramatis atau penghapusan olahraga dan puasa, hanya menyisakan tantangan intelektual untuk meningkatkan fungsi otak. Tambahan untuk melepaskan respons adaptif yang bermanfaat di otak, gaya hidup overindulgent yang menetap mempromosikan obesitas, diabetes dan penyakit kardiovaskular, yang semuanya dapat meningkatkan risiko gangguan kognitif dan penyakit Alzheimer. Karena itu penting untuk merangkul realitas persyaratan untuk berolahraga, puasa intermiten dan pemikiran kritis untuk kesehatan otak yang optimal sepanjang hidup, dan untuk mengenali konsekuensi mengerikan bagi populasi lanjut usia kita yang gagal menerapkan gaya hidup sehat otak seperti itu.
Kesimpulan terkait pentingnya laku puasa dari berbagai study keilmuan tentu berbeda-beda dalam hal aspek apa yang akan dibahas. Namun secara umum jika meninjau dari berbagai kajian penelitian dan teoritis maupun historis ternyata Puasa telah digunakan sebagai terapi sejak setidaknya abad ke-5 SM, ketika dokter Yunani Hippocrates merekomendasikan pantang makanan atau minuman untuk pasien yang menunjukkan gejala penyakit tertentu. Berpuasa telah memainkan peran penting dalam semua agama besar dunia (terlepas dari Zoroastrianisme yang melarangnya), dikaitkan dengan penyesalan dan bentuk-bentuk kontrol diri lainnya. Yudaisme memiliki beberapa hari puasa tahunan termasuk Yom Kippur, Hari Pendamaian; dalam Islam, umat Islam berpuasa selama bulan suci Ramadhan, sementara Katolik Roma dan ortodoksi Timur menjalankan puasa 40 hari selama Prapaskah, periode ketika Kristus berpuasa 40 hari di padang pasir. Jika kita "Memandang" Puasa dari segi agama tentu sering dianjuran untuk dilakukan karena dianggap berkaitan erat sebagai wujud mendekatkan diri dengan sang pencipta. Herbert Shelton dalam bukunya yang berjudul "Puasa Dapat Menyelamatkan Hidup Anda" pertama kali diterbitkan di Chicago pada tahun 1964, dan Allan Cott dalam bukunya yang berjudul "Puasa sebagai Jalan Hidup" pertama kali diterbitkan pada tahun 1977 di New York. Shelton, yang meninggal pada tahun 1985 pada usia delapan puluh sembilan, memiliki lembaganya sendiri di Negara Bagian Texas yang ia arahkan selama lebih dari lima puluh tahun. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia pergi ke sana untuk terapi. Cott adalah seorang psikiater. Dia tinggal di kota New York dan bekerja sebagai psikiater di salah satu rumah sakit di kota itu dan dalam praktik pribadi. Di rumah sakit, ia menggunakan puasa sebagai terapi bagi mereka yang menderita penyakit psikologis. Bukunya, Puasa sebagai Jalan Hidup, membahas masalah puasa baik dari perspektif kesehatan tubuh maupun dari perspektif kesehatan psikologis.
 Di akhir buku ia menyajikan bibliografi yang mencakup lebih dari dua ratus penulis kontemporer dan karya-karya yang berhubungan dengan topik puasa. Selain itu, ia menyajikan alamat dan deskripsi singkat tentang institusi di mana puasa secara sistematis digunakan sebagai mode terapi dan untuk pelestarian kesehatan. Science dengan pendekatan empirisnya telah menunjukan kebermanfaatan puasa dalam bentuk penelitian dan study terkait bahwa puasa sangat baik bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, terdapat keseuaian antara agama dengan science dalam hal kebermanfaatan puasa bagi manusia. Tentunya hal ini sekaligus membuktikan bahwa segala sesuatu yang dianjurkan Tuhan untuk manusia tentulah yang terbaik bagi mahluknya. Jadi, kenapa masih ragu untuk berpuasa.

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Makam Kanjeng Sepuh Sidayu