"Perempuan Sebagai Korban": Study Kasus Kekerasan Dalam Pacaran

Pengertian "Perempuan" dalam sudut pandang morfologi (bidang ilmu linguistik yang mengkaji pembentukan kata atas pertimbangan struktur tubuh organisme) memberikan pengertian bahwa kata "Perempuan" merujuk pada fakta kebertubuhan meliputi mempunyai puki (Vagina), dapat hamil, dapat menstruasi, dapat melahirkan dan dapat menyusui secara umum disebut istri, bini, betina(pada hewan). Sedangkan menurut tokoh feminisme Broverman (dalam Fakih, 2008:8) mengatakan bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu. kajian ilmu Fisiologi menurut Kartini Kartono (1989:4) menyebutkan perbedaan fisiologis yang dialami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial-ekonomi serta pengaruh pendidikan. Secara umum dapat dimengerti bahwa kata "Perempuan" merujuk pada identitas biologi yang menunjukan fungsi-fungsi organ tubuh sesuai jenis kelamin, namun dalam hal perilakunya, faktor belajar-sosialah yang menentukan respon individu untuk bersikap.
Secara umum, Banyak penelitian yang melihat perbedaan emosional antara pria dan wanita. Kebijaksanaan konvensional mengarah kita percaya bahwa wanita lebih emosional daripada pria, atau setidaknya lebih ekspresif secara emosional (Kring & Gordon 1998). Penelitian dengan. Topik yang sama menunjukan Kearifan konvensional ini telah didukung oleh hasil banyak makalah penelitian akademik menunjukkan bahwa wanita memang lebih ekspresif secara emosional dari perspektif gender (mis. Ashmore & Del Boca1979; Brody & Hall 2000; Johnson & Shulman 1988). Dari beberapa penelitian terkait aspek emosional dalam diri perempuan menunjukan bahwa perempuan lebih dominan menggunakan sisi emosionalnya dalam menghadapi permasalahan. Oleh karena itu wajar jika wanita cenderung lebih sering menangis sebagai wujud kekecewaan dan mengomel sebagai wujud marah. Kecenderungan sifat emosional dalam diri perempuan inilah yang memang lebih mendorong perempuan untuk sensitif dan empati terhadap sesuatu yang mengharuskan kasih sayang dalam bersikap Misal merawat anak dsb.
Perempuan sewajarnya mendapatkan perlindungan dan penghormatan bukan karena mereka lemah namun sebagau bentuk apresiasi atas "Sesuatu" yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Namun kenyataan berbanding terbalik, informasi dari Catatan Tahunan (Catahu) 2019 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). Mariana menjelaskan bahwa pada Catahu 2019 ditemukan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas.
Dari Catatan Komnas Perempuan ini, tercatat kekerasan seksual pada perempuan masih tinggi dan beragam. jenis-jenis kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Rentang usia perempuan korban kejahatan sexual berkisar pada usia 16 sampai 24 tahun, serta usia di bawah 16 tahun juga sering terjadi di beberapa daerah meskipun menurut data angkanya kecil, tapi tetap harus menjadi perhatian bersama. Betapa mirisnya perilaku yang diterima perempuan seakan menjadi "Objek" kepuasan sexual oleh lelaki semata. Dan jika melihat dari usia, rata-rata berada pada usia produktif.
Usia-usia seperti itu, menurut psikologi perkembangan merupakan rentang usia remaja hingga dewasa awal. Dimana pada usia tersebut, individu cenderung berkumpul dengan teman, masa pengaturan diri, usia produktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan sosial, masa komitmen, masa perubahan nilai, masa penyesuaian terhadap cara hidup baru, dan masa kreatif (Hurlock, 1980: 245). Layaknya seseorang yang baru keluar dari "Goa", individu pada tahap perkembangan ini sangat energik untuk mencoba peran dalam segala hal. Oleh karenanya jika di masa ini berhasil maka individu akan matang secara emosional dan kognitifnya untuk menjalani masa dewasa madya. Namun jika gagal, individu akan berperilaku sebaliknya. Mudah marah, menutup diri dst.
Mengingat angka kejahatan sexual yang tinggi di usia ini dengan pertimbangan teoritis dari beberapa disiplin ilmu maka tentu perlu menjadi fokus perhatian yang lebih. Penulis tentu pernah berada pada tahap usia perkembangan ini serta mengalami kejadian-kejadian yang tidak jauh berbeda secara teoritis. Fenomena pacaran di tahap usia perkembangan ini memang sudah semestinya menjadi bahan kajian. Apalagi menurut CATAHU Komnas Perempuan, kekerasan dalam pacaran (KDP) juga masuk dalam kategori jenis kekerasan sexual pada usia produktif ini 16-24 tahun. Pasti kemudian muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya terbesit dalam pikiran mereka diusia remaja sudah berpacaran bahkan tidak jarang menjurus pada ranah sexualitas. Piaget tokoh Psikologi Kognitif mengatakan bahwa pada anak-anak usia 12-18 ini telah mampu berfikir secara Operational Formal, yaitu mampu berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola fikir ilmiah (Deduktif-Induktif) dan sudah bisa berfikir secara efektif-sistematis, mampu menganalisis kombinasi, berfikir secara proporsional, serta mamlu menarik kesimpulan umum dari akar permasalahan. Namun Piaget sendiri mengatakan bahwa ada sebagian remaja yang mampu berfikir operational formal, dan ada juga yang hingga usia 15 tahun berdasarkan hasil study juga belum mampu berfikir operational formal meskipun usianya sudah melampaui. Sehingga cukup jelas bahwa cara berfikir remaja yang berada pada tahap perkembangan ini seharusnya mampu berfikir kritis, analitis dan sudah memiliki prinsip. Namun tidak menutup kemungkinan juga ada sebagian remaja yang belum. Apalagi jika dikaitkan dari pembahasan awal, tentang kesadaran jati diri sebagai perempuan secara biologis, kontrol emosional, tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan, dan fenomenan Pacaran ini yang notabenya juga masuk dalam kategori penyumbang angka cukup besar pada kasus kekerasan sexual pada perempuan. Hasil Riset Tridarmanto (2017) menyebutkan bahwa  sebagaian besar remaja memiliki konsep pacaran sebagai hubungan romantis yang melibatkan kasih sayang, cinta, perasaan suka, ikatan batin, dan kemesraan lawan jenis. Sedangkan dalam hal kebutuhan berpacaran, sebagaian besar remaja ingin mendapatkan dukungan moral atau psikologis dari pasangan dan sekaligus mencari romantisme dalam hubungan berpacaran.
Berdasarkan penelitian Lukitasari (2018) dengan topik interaksi pola asuh orangtua dan asal sekolah terhadap perilaku remaja menunjukan bahwa kecenderungan perilaku pacaran yang sehat pada remaja didapati pada pola asuh ayah dan ibu yang demokratis, sedangkan kecenderungan perilaku pacaran yang tidak sehat pada remaja didapati pada pola asuh ayah dan ibu yang permisif. Serta dari penelitian ini juga mengata mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara asal sekolah dengan perilaku pacaran pada remaja. Perilaku pacaran pada remaja menurut Widyarso (2006), dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keluarga, rekan sebaya, sekolah, media, perkembangan institusi agama, pemerintah, dan masyarakat. El-Hakim (2014) juga menyebutkan bahwa pola asuh orang tua dan asal sekolah menjadi salah stau faktor yang mempengaruhi perilaku pacaran. Dari hasil penelitian dan pendapat ahli ini mengungkapkan bahwa kajian mengenai pendekatan sesuai tahap usia perkembangan remaja untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan sexual pada perempuan ini jelas perlu diperdalam serta diaplikasikan dalam dunia pendidikan secara khusus.
Secara fundamental ternyata jika meninjau dan menimbang dari beberapa pendekatan teoritik dan penelitian menunjukan bahwa kasih sayang, cinta adalah intisari yang mendorong individu untuk berperilaku. Abraham Maslow tokoh Psikologi Humanistik mengatakan bahwa kasih sayang menempati kebutuhan dasar manusia diposisi ketiga. Keberadaan kasih sayang itu menurutnya Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi dorongan untuk dibutuhkan oleh orang lain agar ia dianggap sebagai warga komunitas sosialnya. Bentuk akan pemenuhan kebutuhan ini seperti bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta. Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif terpenuhi sejak kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta, Ia akan memiliki keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-orang yang memang penting bagi dirinya. Ketika ada orang lain menolak dirinya, ia tidak akan merasa hancur dan begitupun sebaliknya. Sering kita temui bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran tersebut. Berasal dari orang-orang yang broken home, kesepian secara psikologis meskipun dalam hal materi tercukupi, apalagi pada individu yang tidak tercukupi kedua-duanya. Akibatnya individu tersebut mencari tempat untuk menemukan kasih sayang itu, dan ketika telah menemukanya maka ia akan memberikan segalanya berupa kepatuhan, bahkan kesucianya. Hasil riset Anantri (2015) menemukan faktor yang mempengaruhi remaja putri rentan terhadap perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) antara lain usia, tingkat kelas, sikap, infrastruktur, dukungan keluarga, dan dukungan teman - teman untuk pengetahuan dan dukungan guru tidak berhubungan dengan perilaku kekerasan dalam pacaran.
Erick From tokoh Psikologi Pertumbuhan aliran Humanistik mengartikan Cinta sebagai suatu hubungan manusia bebas dan sederajat dimana tiyap-tiyap Individu dapat mempertahankan individualitasnya. Identitas individu tidak berkurang dan tidak dikorbankan, melainkan justru dari cinta itulah suatu perasaan akan hubungan tercapai.  Kita tidak jatuh kedalam cinta, karena justru dari sanalah tumbuh motivasi baru dalam kehidupan yaitu perhatian, tanggung jawab, Respect dan pengetahuan. Orang-orang yang dicintai dipandang Respeck dan mereka dicintai menurut siapa dia dan apa adanya, serta tidak terbatas pada cinta yang erotis. Sebab cinta merupakan kegiatan dan bukan suatu nafsu "Wanita dilihat dari masa lalunya, sedangkan pria dilihat dari masa depanya".

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Makam Kanjeng Sepuh Sidayu