Sepak Terjang Politik Sang Kyai : Perspektif Rentang Sejarah
Perjalanan sejarah para kyai dalam kancah perpolitikan Indonesia jika ditinjau dari awal berdirinya bangsa ini bisa dikatakan cukup membuat salut dan layak mendapatkan apresiasi. Pasalnya, dalam ajaran Islam sendiri tidak hanya berkutat tentang bagaimana agar selamat dunia dan akhirat saja, melainkan lebih jauh lagi islam adalah Way Of Life seluruh umat manusia "Islam Rahmat bagi setiap umat". Kyai dalam sejarah perjuangan bangsa ini, bukan hanya sebatas Pembina Spiritual masyarakat semata. Melainkan juga berperan sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Tugas seperti itu bukanlah perkara yang muda karena menyangkut persoalan dengan orang banyak. Hasil study Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Ibrahimy (2019) dalam Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan menyebutkan bahwa Proses politik di Indonesia telah mengalami reformasi, dan berhasil menggulingkan konstruksi politik rezim lama yang otoriter dan militeristik monolitik sambil membuka jalan bagi proses demokratisasi dan transformasi sosial. Saat ini, keterlibatan kyai sebagai aktor dalam politik nasional telah menjadi perhatian publik dan pengamat politik. Dari sejarah panjang panggung politik kyai, telah terjadi pergeseran dan perubahan arah, terutama pergeseran dari politik nasional ke politik kekuasaan. Kyai yang awalnya bergerak di jalur budaya, yang disebut broker budaya, dalam proses politik saat ini tampaknya adalah aktor yang memberikan legitimasi politik. Garis perjuangan kyai mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di negara itu. Kyai mulai mengeksplorasi wilayah politik partai dengan semua manuver politik seperti memberi dukungan (legitimasi) yang dikenal sebagai berkah. Politik adalah profan yang mengharuskan adanya kecenderungan, dan akibatnya mempersempit visi, misi dan advokasi hanya untuk kelompok atau massa pendukung tertentu. Seharusnya, legitimasi kyai tidak diperoleh melalui kekuasaan dan dukungan politik tetapi dari sikap dan tindakan moralnya, di samping otoritas keagamaan. Sehingga terjun ke dunia politik tidak semakin memperkuat gengsi dan karisma kyai, melainkan hegemoni para politisi kyai.
Pendapat lain berdasarkan hasil study dengan topik yang sama "Kyai" dan "Politik" dalam Jurnal Ar-Risalah Universitas Brawijaya Program Pascasarjana Sosiologi (2014) menuturkan bahwa pasca Reformasi banyak dari kalangan Kyai yang memilih terjun kedalam dunia politik praktis sebagai pengurus struktural partai, calon legislatif dan eksekutif serta dukungan suara dalam bentuk kampanye. Meninjau ulang terkait keterlibatan Kyai dalam dunia politik tentu bisa dilihat dari berbagai alasan Seperti karena faktor Kekuasaan yang berpengaruh, Faktor Kepentingan , Kebijaksanaan yang terwujud akumulasi antara kekuasaan dengan kepentingan yang memiliki legalitas dan Budaya politik yang berdasarkan penilaian subjektif individu terhadap sistem politik. Sehingga tidak mengherankan jika sering terlihat di media nasional maupun lokal saat moment Pemilu atau Pilkada Seolah terdapat dua kubu kyai yang saling mendukung PasLonya masing-masing dan seakan tidak ada kesatuan dalam satu partai politik islam. Tentu masih ingat di fikiran kita terkait argument cendekiawan muslim Nurcholis majid pada tahun 1971 mengatakan "Islam Yes Partai Islam No" dan dikemudian hari muncul argument tanggapan dari budayawan Emha Ainun Najib yang mengatakan "Islam Yes Partai Islam Yes". Dari dua pendapat ini tentunya jika meruntut pada situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya memberikan Insight bawa peran "Kyai" dengan "Politik" dari perspektif sosiohistoris mendapatkan ruang tersendiri dalam ranah diskusi Sosial-Politik (Suprayogo, Imam : 2009. "Kyai dan Politik : Membaca Citra Politik Kyai") .
Kemampuan Kyai sebagai penentu nilai di masyarakat yang menjadikanya sebagai tokoh yang membuatnya menjadi panutan dan berkarismatik dimata masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Clifford Geertz (1960) mengatakan kemampuan kyai pesantren dalam mengontrol perubahan nilai dalam masyarakat tidak lepas dari peranya sebagai Cultural Broker (Penghubung antar kelompok atau individu dari berbagai macam latar budaya untuk mengurangi konflik atau menghasilkan perubahan). Jika melihat dari salah satu alasan kyai terjun dalam ranah politik praktis seperti budaya politik yang notabenya berdasarkan subjektifitas kecenderungan pilihan politik kyai itu sendiri. Maka selaras dengan pendapat Mansoor Noor (1990) yang memetakan tipikal kyai berdasarkan 3 kriteria. Pertama kyai Konservatif, Kyai adaptif dan kyai progresif berdasarkan respon kyai terhadap perubahan sosial. Kyai Konservatif cenderung mempertahankan tradisi lama serta sulit menerima perubahan sosial. Kyai adaptif cenderung melakukan penyesuaian terhadap perubahan aspek kultural dan politik serta Kyai progresif cenderung menerima perubahan sosial. Meskipun tidak semua kyai terjun dalam dunia politik praktis, karena kita tahu bahwa jika kita melihat figur kyai sebagai individu maka kita akan melihat diferensiasi perilaku personal ketika menghadapi stimulus yang tentunya aspek kognitif, afektif dan sosial berpengaruh dalam mengambil keputusan. Jadi sah-sah saja jika kyai memutuskan untuk berpolitik ataupun tidak. Pemakluman ini tentu saja berdasarkan relevansi nilai dari konsep agama sebagai penopang berbangsa dan bernegara. Juergensmeyer (1995 : 79-91) menyebut bahwa negara dan agama, mempunyai kemampuan mengarahkan ketaatan masyarakat dan mengabsahkan kekuasaan. Sepak terjang perpolitikan kyai tentu meninggalkan beragam pendapat dari para pengamat politik. Ciri khas politik Sang Kyai secara umum menurut Din Syamsuddin (1993) artikulasi politik kyai masih bersifat ekspresif dan belum bersifat instrumental. Artikulasi ekspresif ini tercermin masih menggunakan kecenderungan eksploitasi dan memanipulasi lambang-lambang agama seperti peningkatan apel akbar, doa bersama dst ketika menghadapi persoalan politik. Sedangkan artikulasi politik instrumental adalah proses politik yang lebih menekankan pada efektivitas untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik secara langsung dalam wujud kecakapan lobi-lobi politik, dan kemampuan menangani suatu bidang secara profesional. Seandainya kyai memiliki kedua-duanya, niscaya kyai akan tetap memiliki kekuatan politik yang andal (Suprayogo Imam, 2019 : 15).
Tidak hanya untuk kekuasaan, konsekuensi logisnya ialah peran aktif kyai itu sendiri juga memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan umat, Social Control masyarakat di segala tingkatan serta aktif tidak hanya sebatas menyuarakan "Sabar dan Tawakal" saja, tapi juga turun langsung ke masyarakat sebagai Agent of change dan menjadi Suritauladan yang nyata bagi masyarakat seperti jejak-jejak kyai dimasa Walisongo dulu.
Pendapat lain berdasarkan hasil study dengan topik yang sama "Kyai" dan "Politik" dalam Jurnal Ar-Risalah Universitas Brawijaya Program Pascasarjana Sosiologi (2014) menuturkan bahwa pasca Reformasi banyak dari kalangan Kyai yang memilih terjun kedalam dunia politik praktis sebagai pengurus struktural partai, calon legislatif dan eksekutif serta dukungan suara dalam bentuk kampanye. Meninjau ulang terkait keterlibatan Kyai dalam dunia politik tentu bisa dilihat dari berbagai alasan Seperti karena faktor Kekuasaan yang berpengaruh, Faktor Kepentingan , Kebijaksanaan yang terwujud akumulasi antara kekuasaan dengan kepentingan yang memiliki legalitas dan Budaya politik yang berdasarkan penilaian subjektif individu terhadap sistem politik. Sehingga tidak mengherankan jika sering terlihat di media nasional maupun lokal saat moment Pemilu atau Pilkada Seolah terdapat dua kubu kyai yang saling mendukung PasLonya masing-masing dan seakan tidak ada kesatuan dalam satu partai politik islam. Tentu masih ingat di fikiran kita terkait argument cendekiawan muslim Nurcholis majid pada tahun 1971 mengatakan "Islam Yes Partai Islam No" dan dikemudian hari muncul argument tanggapan dari budayawan Emha Ainun Najib yang mengatakan "Islam Yes Partai Islam Yes". Dari dua pendapat ini tentunya jika meruntut pada situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya memberikan Insight bawa peran "Kyai" dengan "Politik" dari perspektif sosiohistoris mendapatkan ruang tersendiri dalam ranah diskusi Sosial-Politik (Suprayogo, Imam : 2009. "Kyai dan Politik : Membaca Citra Politik Kyai") .
Kemampuan Kyai sebagai penentu nilai di masyarakat yang menjadikanya sebagai tokoh yang membuatnya menjadi panutan dan berkarismatik dimata masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Clifford Geertz (1960) mengatakan kemampuan kyai pesantren dalam mengontrol perubahan nilai dalam masyarakat tidak lepas dari peranya sebagai Cultural Broker (Penghubung antar kelompok atau individu dari berbagai macam latar budaya untuk mengurangi konflik atau menghasilkan perubahan). Jika melihat dari salah satu alasan kyai terjun dalam ranah politik praktis seperti budaya politik yang notabenya berdasarkan subjektifitas kecenderungan pilihan politik kyai itu sendiri. Maka selaras dengan pendapat Mansoor Noor (1990) yang memetakan tipikal kyai berdasarkan 3 kriteria. Pertama kyai Konservatif, Kyai adaptif dan kyai progresif berdasarkan respon kyai terhadap perubahan sosial. Kyai Konservatif cenderung mempertahankan tradisi lama serta sulit menerima perubahan sosial. Kyai adaptif cenderung melakukan penyesuaian terhadap perubahan aspek kultural dan politik serta Kyai progresif cenderung menerima perubahan sosial. Meskipun tidak semua kyai terjun dalam dunia politik praktis, karena kita tahu bahwa jika kita melihat figur kyai sebagai individu maka kita akan melihat diferensiasi perilaku personal ketika menghadapi stimulus yang tentunya aspek kognitif, afektif dan sosial berpengaruh dalam mengambil keputusan. Jadi sah-sah saja jika kyai memutuskan untuk berpolitik ataupun tidak. Pemakluman ini tentu saja berdasarkan relevansi nilai dari konsep agama sebagai penopang berbangsa dan bernegara. Juergensmeyer (1995 : 79-91) menyebut bahwa negara dan agama, mempunyai kemampuan mengarahkan ketaatan masyarakat dan mengabsahkan kekuasaan. Sepak terjang perpolitikan kyai tentu meninggalkan beragam pendapat dari para pengamat politik. Ciri khas politik Sang Kyai secara umum menurut Din Syamsuddin (1993) artikulasi politik kyai masih bersifat ekspresif dan belum bersifat instrumental. Artikulasi ekspresif ini tercermin masih menggunakan kecenderungan eksploitasi dan memanipulasi lambang-lambang agama seperti peningkatan apel akbar, doa bersama dst ketika menghadapi persoalan politik. Sedangkan artikulasi politik instrumental adalah proses politik yang lebih menekankan pada efektivitas untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik secara langsung dalam wujud kecakapan lobi-lobi politik, dan kemampuan menangani suatu bidang secara profesional. Seandainya kyai memiliki kedua-duanya, niscaya kyai akan tetap memiliki kekuatan politik yang andal (Suprayogo Imam, 2019 : 15).
Tidak hanya untuk kekuasaan, konsekuensi logisnya ialah peran aktif kyai itu sendiri juga memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan umat, Social Control masyarakat di segala tingkatan serta aktif tidak hanya sebatas menyuarakan "Sabar dan Tawakal" saja, tapi juga turun langsung ke masyarakat sebagai Agent of change dan menjadi Suritauladan yang nyata bagi masyarakat seperti jejak-jejak kyai dimasa Walisongo dulu.
Comments
Post a Comment