Apa Salah "Terlahir Sebagai" Perempuan??
Tindak kekerasan terhadap perempuan tercatat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2019 tercatat tahun 2018 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 14%. Jumlah kasus KTP 2019 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466. Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh PN/PA. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni; [1] Dari PN/Pengadilan Agama sejumlah 392.610 kasus. [2] dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.568 kasus; [3] dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 415 kasus yang datang langsung, dan 367 kasus melalui telpon dan [4] dari Subkomisi Pemantauan yang mengelola pengaduan melalui surat sebanyak 191 kasus dan 261 melalui surat elektronik.
Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 71% (9.637). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 28% (3.915) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1% (16). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.927 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%).Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.915 kasus. 64% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (1.136), Perkosaan (762) dan Pelecehan Seksual (394). Sementara itu persetubuhan sebanyak 156 kasus.
Berdasarkan informasi tersebut, dari tahun ke tahun tercatat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih saja menonjol dan seakan menjadi pekerjaan rumah bagi pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Menurut riset dalam Jurnal Academica Universitas Tadulako (2009) menuturkan bahwa Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan utamanya terhadap istri dalam lingkungan rumah tangga dianggap wajar dan merupakan masalah intern. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga harus menjadi perhatian karena ruang lingkupnya tertutup sehingga menyebabkan hidden crime dan dark number sehingga sulit terekspose oleh publik dan muncul anggapan wajar dalam urusan rumah tangga karena masih mengadopsi Patriarki (sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral dan hak sosial dan penguasaan properti) dalam penanganan masalah tersebut. Maka untuk mencegahnya dibutuhkan keaktivan dari peran Gender itu sendiri khususnya perempuan untuk menyuarakan pesan penolakan secara tegas terhadap tindakan tersebut. Kedua, melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang disuarakan oleh perempuan itu sendiri dan yang paling penting adalah adanya kepastian yang jelas untuk melindungi perempuan di dalam rumah ataupun diluar rumah.
Diperlukan pendekatan-pendekatan yang sekiranya mampu menggali akar permasalahn tersebut serta merumuskanya menjadi sebuah solusi. Misal secara teoritis kita menggunakan pendekatan Sosiologis dari Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble, dalam kerangka Heterosexual Matrix. Beliau menjelaskan bahwa jenis kelamin individu sudah ditentukan secara biologis. Jenis kelamin individu bagi laki-laki maupun perempuan berdasarkan konvensi (Aturan tidak tertulis, dilakukan secara berulang dan diterima menjadi kebiasaan di lingkungan tersebut) budaya dan bahasa yaitu feminim dan maskulin. Jadi yang menentukan apakah seseorang itu feminim atau maskulin adalah berdasarkan konstruksi sosial dan budaya berdasarkan jenis kelamin kita saat dilahirkan. Maka yang dimaksut Gender (Peran Feminim atau Maskulin) adalah hasil dari konstruksi sosial itu sendiri. Jika Maskulin dan Feminim adalah hasil dari Konstruksi Sosial dan Budaya maka logisnya atas kekerasan terhadap perempuan merupakan hasil dari Konstruksi sosial juga. Secara sederhana maka tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Laki-laki terhadap perempuan merupakan sesuatu yang bisa dibentuk, dipelajari dan ditiru secara individual atas interaksi timbal balik sosialnya. Maka jelas bahwa secara teori, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan bisa diselesaikan dengan jalan rekonstruksi ulang apa itu Feminim dan Maskulin. Seorang laki-laki yang terbiasa melakukan kontak fisik dengan perempuan dan dianggap wajar oleh lingkungan tempat tinggalnya maka tidak menutup kemungkinan untuk bertindak lebih jauh dikemudian hari karena baginya wajar dan biasa jika dilakukan ditempat lain.
Kesimpulan sementara yang bisa dipelajari dari data serta fakta berdasarkan pemaparan pembahasan topik ini ialah pentingnya wawasan dan keterbukaan informasi terkait sejauh mana perempuan dapat menyuarakan permasalahan-permasalahan yang sebenarnya serius dalam pandangan hukum namun justru dianggap tabu untuk diperbincangkan kedalam ranah pengambilan kebijakan. Kedua, sangat diperlukan kesadaran moral dalam masyarakat tentang "kesadaran hukum" untuk menciptakan pemenuhan keadilan bagi tiyap-tiyap individu. Ketiga, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang mayoritas dalam gelar perkara KDRT selalu yang menjadi korban adalah perempuan. Tentunya, perlu rumus-rumus hukum yang khusus perihal masalah KDRT serta sosialisasi pada masyarakat untuk sadar hukum bahwa segala tindak kekerasan dan kejahatan diruang pribadi atau publik tetap menjadi perkara hukum yang harus tetap berjalan dan membuka mindset masyarakar bahwa lapor atau menjadi saksi kasus tersebut bukanlah hal yang tabu. Meskipun butuh waktu lama untuk merumuskan dan menerapkanya dalam masyarakat.
Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 71% (9.637). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 28% (3.915) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1% (16). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.927 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%).Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.915 kasus. 64% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (1.136), Perkosaan (762) dan Pelecehan Seksual (394). Sementara itu persetubuhan sebanyak 156 kasus.
Berdasarkan informasi tersebut, dari tahun ke tahun tercatat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih saja menonjol dan seakan menjadi pekerjaan rumah bagi pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Menurut riset dalam Jurnal Academica Universitas Tadulako (2009) menuturkan bahwa Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan utamanya terhadap istri dalam lingkungan rumah tangga dianggap wajar dan merupakan masalah intern. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga harus menjadi perhatian karena ruang lingkupnya tertutup sehingga menyebabkan hidden crime dan dark number sehingga sulit terekspose oleh publik dan muncul anggapan wajar dalam urusan rumah tangga karena masih mengadopsi Patriarki (sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral dan hak sosial dan penguasaan properti) dalam penanganan masalah tersebut. Maka untuk mencegahnya dibutuhkan keaktivan dari peran Gender itu sendiri khususnya perempuan untuk menyuarakan pesan penolakan secara tegas terhadap tindakan tersebut. Kedua, melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang disuarakan oleh perempuan itu sendiri dan yang paling penting adalah adanya kepastian yang jelas untuk melindungi perempuan di dalam rumah ataupun diluar rumah.
Diperlukan pendekatan-pendekatan yang sekiranya mampu menggali akar permasalahn tersebut serta merumuskanya menjadi sebuah solusi. Misal secara teoritis kita menggunakan pendekatan Sosiologis dari Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble, dalam kerangka Heterosexual Matrix. Beliau menjelaskan bahwa jenis kelamin individu sudah ditentukan secara biologis. Jenis kelamin individu bagi laki-laki maupun perempuan berdasarkan konvensi (Aturan tidak tertulis, dilakukan secara berulang dan diterima menjadi kebiasaan di lingkungan tersebut) budaya dan bahasa yaitu feminim dan maskulin. Jadi yang menentukan apakah seseorang itu feminim atau maskulin adalah berdasarkan konstruksi sosial dan budaya berdasarkan jenis kelamin kita saat dilahirkan. Maka yang dimaksut Gender (Peran Feminim atau Maskulin) adalah hasil dari konstruksi sosial itu sendiri. Jika Maskulin dan Feminim adalah hasil dari Konstruksi Sosial dan Budaya maka logisnya atas kekerasan terhadap perempuan merupakan hasil dari Konstruksi sosial juga. Secara sederhana maka tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Laki-laki terhadap perempuan merupakan sesuatu yang bisa dibentuk, dipelajari dan ditiru secara individual atas interaksi timbal balik sosialnya. Maka jelas bahwa secara teori, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan bisa diselesaikan dengan jalan rekonstruksi ulang apa itu Feminim dan Maskulin. Seorang laki-laki yang terbiasa melakukan kontak fisik dengan perempuan dan dianggap wajar oleh lingkungan tempat tinggalnya maka tidak menutup kemungkinan untuk bertindak lebih jauh dikemudian hari karena baginya wajar dan biasa jika dilakukan ditempat lain.
Kesimpulan sementara yang bisa dipelajari dari data serta fakta berdasarkan pemaparan pembahasan topik ini ialah pentingnya wawasan dan keterbukaan informasi terkait sejauh mana perempuan dapat menyuarakan permasalahan-permasalahan yang sebenarnya serius dalam pandangan hukum namun justru dianggap tabu untuk diperbincangkan kedalam ranah pengambilan kebijakan. Kedua, sangat diperlukan kesadaran moral dalam masyarakat tentang "kesadaran hukum" untuk menciptakan pemenuhan keadilan bagi tiyap-tiyap individu. Ketiga, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang mayoritas dalam gelar perkara KDRT selalu yang menjadi korban adalah perempuan. Tentunya, perlu rumus-rumus hukum yang khusus perihal masalah KDRT serta sosialisasi pada masyarakat untuk sadar hukum bahwa segala tindak kekerasan dan kejahatan diruang pribadi atau publik tetap menjadi perkara hukum yang harus tetap berjalan dan membuka mindset masyarakar bahwa lapor atau menjadi saksi kasus tersebut bukanlah hal yang tabu. Meskipun butuh waktu lama untuk merumuskan dan menerapkanya dalam masyarakat.
Comments
Post a Comment