Mengkaji Keterlibatan Nilai Kemanusiaan Dalam Pembangunan: Perspektif Lintas Disiplin Keilmuan.

Nilai-nilai kemanusiaan dalam ranah penanggulangan dampak percepatan informasi teknologi yang merambah di segala bidang kehidupan manusia, seakan menggerus nilai-nilai Humanity itu sendiri. Tatanan nilai moral dan spiritual yang seharusnya menjadi pedoman untuk bermasyarakat seakan tergerus oleh nilai-nilai materil. Wacana pemurnian nilai-nilai kemanusian melalui beragam kebijakan, seolah-olah hanya sampai dalam tataran utopis dan belum dijabarkan secara operasional. Upaya untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkualitas tanpa meninggalkan sisi kemanusiaan, adalah suatu tugas "Suci" dalam GBHN sebagai tujuan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Percepatan teknologi modern yang merupakan manifesto arus kompetisi di ranah internasional, berdampak pada negara-negara yang lahir pasca PD II yang jika ditinjau secara empirik dalam berbagai bidang study masih mengalami tahap berkembang. Sejalan dengan demikian, pendapat yang pernah disampaikan presiden RI kedua dalam pembukaan Kongres VI dan Seminar Nasional Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial pada tahun 1990 di Yogyakarta mengatakan bahwa "Pengalaman dari Negara-Negara Industri Maju yang berorientasi saja pada pembangunan kebendaan dan kuantitatif saja, memberikan gejala-gejala pada permasalahan yang mengkhawatirkan bagi mereka sendiri. Hal itu terjadi karena mereka terlalu mengedepankan pada kemajuan materi dan mengesampingkan nilai-nilai harkat martabat manusianya. Akibatnya, sendi-sendi kehidupan masyarakat menjadi rapuh. Solidaritas sosial merosot, lembaga pranata yang mengatur kehidupan bersama seperti perkawinan makin ditinggalkan. Manusia terasa banyak kehilangan pegangan hidup, tentu kita tidak ingin terjadi disini dalam masyarakat Pancasila. Oleh karena itu, kita harus bersusah payah mengembangkan pembangunan yang khas Indonesia dan menjadi prioritas yang makin penting" (Effendi, Sairin, Alwi Dahlan "Membangun Martabat Manusia", Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan : 1996).
Ungkapan beliau tentu mengingatkan kita tentang fakta sejarah bangsa kita dulu. Dimana pada masa itu, kita mampu menjadi mercusuar yang megah dibawah kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan bahkan di era sebelumnya peradabaan Indonesia menjadi contoh berkehidupan sosial-kemasyarakat yang tertulis dalam kitab Negarakertagama dan berpedoman Hukum dalam Kitab Sutasoma. Sehingga lahirlah peninggalan sejarah yang membanggakan seperti Candi Borobudur, Universitas Nalanda, Candi Prambanan dsb (Lintang Waluyo, "Wasiat Tanah Surga Yang Hilang", : 2015). Tentu sejarah akan menjadi guru yang baik, jika memang dipelajari dan itulah maksut pidato Presiden RI pertama yang mengatakan "Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah". Dari sejarah itulah kita tidak hanya sebatas mengingat masa lalu, tapi juga belajar lebih baik lagi untuk bekal dimasa depan. Mencari nilai-nilai kemanusiaan yang murni dari negara ini (Indonesia) dalam berbagai kajian disiplin keilmuan cukup santer dibahas apalagi 5 tahun belakangan ini pemerintah sedang " GasPol" melakukan Program Pembangunan. Kajian soal Pembangunan dengan mencari Tolak Ukur terhadap kualitas masyarakat yang dilakukan oleh Djamaludin Ancok menghasilkan pembahasan bahwa kegiatan Pembangunan amat luas dimensinya. Salah satunya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kegiatan produksi, baik produksi bahan mentah, setengah jadi, barang jadi maupun produksi jasa. Di proses pembangunan itu sendiri memanfaatkan SDA, SDM (Modal), dan SDM (Manusia). Pemanfaatan sumber daya tadi kurang memperhitungkan keharmonisan ekologi (Lingkungan Alam dan Manusia). Akibatnya adalah meningkatnya kasus perilaku sebagai berikut : 1. Kriminalitas, 2. Kekerasan, 3. Kenakalan, 4. Bunuh Diri, 5. Pembunuhan, 6. Hubungan Sex dengan sedarah, 7. Penyiksaan anak, 8. Penyiksaan orangtua, 9. Anak lari dari rumah, 10. Perkosaan, 11. Kecanduan Narkotika, 12. Perceraian, 13. Perilaku sexual dikuar nikah. Pengukuran fenomena sosial dapat dilakukan dengan pendekatan objektif maupun subjektif. Yang paling dasar ialah 1. Tersedianya teknik statistik dan komputer demi menunjang skor agregat dimensi permasalahan di masyarakat, 2. Kesepakatan jenis Indikator, 3. Melibatkan ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuan untuk menciptakan alat pengukuran yang berkaitan dengan substansi permasalahan kualitas masyarakat yang begitu kompleks. Jika meninjau sumbangsih ide dari beliau tentu yang menjadikan nilai-nilai kemanusiaan bisa dipelajari, dievaluasi dan bisa dipantau berdasarkan indikatornya pastilah merujuk pada sistematika teknis operationalnya. Artinya, secara metodologis, tidak hanya konsep yang bagus, melainkan juga operational konkritnyalah yang perlu dipersiapkan dengan matang.
Lalu seberapa pentingkah mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pembangunan nasional dalam menghadapi tantangan global. Presiden RI Kedua pernah mewanti-wanti bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus terus bergulir. Tentunya didukung oleh kekuatan, prakarsa, dan dinamika masyarakat itu sendiri. Keadaan itu hanya dapat kita ciptakan dengan meningkatkan kualitas masyarakat sehingga mandiri, mampu mengangkat dirinya sendiri. Sehingga perlu dijabarkan dan dirinci dalam pola  strategy dan terukur. Demi mewujudkan masyarakat yang Berdikari (berdiri diatas kaki sendirj) Oleh karena itu benar bahwa "Negara besar bukan karena maju teknologinya, dan besar saja jumlah populasi penduduknya, melainkan cerdas dan trampil Sumber daya Manusianya".
Membaca tulisan "Martabat dan Kualitas Manusia Dalam Persaingan Global" karya Ginanjar Kartasasmita memberi wawasan baru soal problematik manusia dalam menyikapi perubahan jaman. Isi dari makalah beliau menjabarkan bahwa persaingan global yang didorong dan dilandasi oleh kemajuan teknologi mewajibkan kita untuk menyiapkan bangsa agar mampu memanfaatkan momentumnya dan justru tidak tenggelam karenanya. Tata hubungan dunia baru yang dihasilkan oleh revolusi teknologi dan kesadaran kemanusiaan secara global maka bangsa Indonesia harus mempertahankan sikap dan budayanya demi menjaga martabatnya diantara bangsa-bangsa di dunia. Ciri manusia Indonesia meliputi dua prinsip pokok yang harus dibangun yaitu, 1. Manusia yang memiliki Idealisme kuat (Berjiwa Pancasila), 2. Manusia Profesional yang mampu memberi sumbangan berarti bagi masyarakatnya. Karena dengan sendirinya sebagai orang beragama dan sesuai dengan azas Pancasila, maka haruslah pula menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhanya.
Nilai Kemanusiaan itu bersifat abstrak namun, pranata nilai tersebut mampu membentuk norma kemasyarakatan yang mampu menjangkau keberimbangan esensi manusia itu sendiri untuk beradaptasi dengan sesamanya. Terlepas dari Suku, Agama, Ras dan Budaya. Nilai kemanusiaan murni hadir disetiap intuisi (Hati Kecil) manusia. Maka tak heran Mahatma Ghandi mengatakan "Semua Manusia itu Sama". Lalu bagaimana Negara hadir untuk menjaga nilai kemanusiaan dalam proses pembangunan?? Tentu bisa dimulai dari Dimensi Pengelolaan Tata Ruang yang juga melibatkan masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh Hasan Poerbo dalam makalahnya yang berjudul "Dimensi Tata Ruang Dan Martabat Manusia". Isi makalah ini menjelaskan bahwa pentingnya pelibatan masyarakat dari kelompok yang lemah ekonomi dan politiknya dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan implementasinya sangat diperlukan. Serta pemerintah bersinergi juga dengan pihak yang berpijak pada ilmu-ilmu sosial serta pihak perencanaan tata kota agar hasilnya maksimal dalam bentuk pengembangan teori dan metodologi, pengembangan kebijakan, peraturan-perundangan dan pengembangan bahan untuk pendidikan dan umpan balik bagi pengelolaan lapangan dan pendalaman riset demi evaluasi hasil implementasi berkelanjutan (Effendi, Sairin, Alwi Dahlan.,1996 : 340).

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Ali Murtadho (Raden Santri) Gresik.

Makam Kanjeng Sepuh Sidayu